Kementerian Sumber Daya Energi dan Mineral (ESDM) berencana mencabut subsidi elpiji 3 kg, Juli mendatang. Apakah hal ini sejalan dengan "kekesalan" Presiden Joko Widodo terhadap mafia migas?
Saat memimpin rapat terbatas tentang harga gas di Istana Kepresidenan, 6 Januari 2020, Presiden Jokowi mengatakan dirinya ingin berkata kasar karena kesal dengan tingginya harga gas sehingga menyebabkan produk-produk Indonesia kalah bersaing.
Sementara sebelumnya, saat membuka Musyawarah Rencana Pembangunan Jangka Menengah di Istana Negara, 16 Desember 2019, Presiden Jokowi mengaku sudah tahu mafia migas yang mengeruk keuntungan dari impor migas.
Bahkan Jokowi mengatakan salah satu bukti adanya mafia migas adalah gagalnya pembangunan kilang minyak yang sudah diwacanakan sejak awal periode pertama pemerintahannya. Dampaknya neraca perdagangan migas Indonesia selalu defisit. Impor migas juga menggerogoti keuanganan negara.
Namun tidak disangka, Kementerian ESDM justru mewacanakan untuk mencabut subsidi gas ukuran 3 kg sehingga harganya akan naik menjadi Rp 35 ribu dari sebelumnya Rp 21 ribu per tabung.
Mengapa kisruh harga gas yang oleh Presiden Jokowi jelas-jelas disebut karena kelakuan mafia migas, justru dibebankan kepada konsumen gas 3 kg yang notabene jatah warga miskin? Bahwa terjadi kebocoran karena ada industri dan rumah tangga kaya turut menikmati, solusinya tentu bukan mencabut subsidi, tapi memenjarakana mereka yang mengambil keuntungan dari subsidi yang bukan haknya!
Membebaskan pelaku industri untuk mengimpor gas sendiri juga bukan solusi yang tepat karena pada akhirnya akan kembali menggemukkan mafia gas. Bukankah tidak mungkin industri skala kecil, bahkan menengah, bisa melakukan impor gas karena jika impor hanya sesuai dengan kebutuhannya, tentu harganya akan jauh lebih mahal karena biaya distribusinya?
Meski harga gas di luar hanya US$ 4/MMBTU, tapi jika impor dilakukan sendiri, mungkin harga sampai pabrik akan di atas US$ 6/MMBTU, harga yang dinikmati saat ini.
Terlepas dari hal itu- yang masih membutuhkan hitungan lebih detail, tetapi yang pasti kita melihat antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya tidak sinkron. Â Dan sialnya, mencabut subsidi untuk warga melarat selalu dijadikan opsi pertama.
Kita berharap betul ketika Menteri BUMN Erick Thohir melakukan sejumlah gebrakan, terutama pergantian pejabat lama dengan wajah-wajah baru yang memiliki track record cukup mumpuni, setidaknya di mata sebagian orang.
Terlebih ketika Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok didapuk menjadi Komisaris Utama PT Pertamina (Persero). Ada letupan ekspektasi yang membuncah. Ada harapan Ahok akan mampu memberantas mafia migas. Â Mengapa kita tidak menunggu aksinya terlebih dahulu? Mungkin saja benar-benar bisa memberantas mafia migas sehingga harga gas di dalam negeri dapat sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.