Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kala Prabowo Gagal Melewati Ujian Pertama

15 Januari 2020   13:05 Diperbarui: 15 Januari 2020   23:25 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus mantan calon presiden 2014 dan 2019 Prabowo Subianto menerima tawaran Presiden Joko Widodo masuk ke dalam pemerintahan jilid keduanya, menerbitkan banyak harapan. Salah satunya penurunan suhu politik mengingat rivalitas kedua pendukungnya yang sangat tajam dan melibatkan massa grassroot .

Tanpa menafikan mereka yang kecewa, ada sebersit harapan, Prabowo dapat menutup "kelemahan" Jokowi  pada isu-isu tertentu, terutama keamanan dan kedaulatan. Sebab selama ini, oleh pendukungnya, Prabowo dipersepsikan sebagai sosok yang kuat dan tegas, sedang Jokowi sebaliknya. Hal itu didukung dengan penampilan dan intonasi bicara Prabowo yang keras dan cenderung meledak-ledak.

Karena persepsi demikian, maka kursi Menteri Pertahanan, terlepas apakah ditawarkan oleh Presiden Jokowi ataukah  atas kemauan Prabowo sebagai bagian dari negoisasi politik, dianggap tepat sehingga kegaduhan terkait keputusannya masuk ke Istana, reda dengan sendirinya.

Publik sempat terbius ketika Prabowo melakukan gerak cepat dengan menemui sejumlah Menteri Pertahanan. Bukan hanya dari kawasan ASEAN, namun juga hingga Turki dan Eropa.Bahkan sempat dinarasikan Prabowo akan berangkat ke Amerika Serikat untuk membuktikan dirinya tidak memiliki masalah dengan negeri Paman Sam seperti yang banyak dituduhkan selama ini.

Macan Asia, frasa yang didengungkan pendukungnya sebelumnya, menggelinjang dalam arus pikir sebagian anak bangsa, ketika melihat Prabowo diterima dengan baik oleh para koleganya di seluruh dunia. Indonesia akan kembali memiliki kebanggaan di tengah percaturan dunia, bahkan mungkin akan ikut terlibat aktif dalam ketertiban dunia sebagaimana diamanatkan konstitusi dasar NKRI.

Tetapi semua ambyar ketika terjadi ketegangan di Laut Natuna sebagai dampak klaim China melalui peta nine dash line dan penolakannya terhadap putusan pengadilan arbitrase menyangkut kepemilikan Kepulauan Spratly yang dimenangkan Filipina.

Meski mengakui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, namun China tetap berpegang pada prinsip kedaulatan atas dasar wilayah di masa lalu dan juga perairan terkait (relevant waters) di mana Laut Natuna merupakan wilayah tangkap ikan tradisonalnya.

Ada ekspektasi membuncah kepada Prabowo untuk bersikap tegas, termasuk mengirim kapal perang karena Badan Keamanan Laut (Bakamla) dianggap kurang gesit mengusir kapal-kapal nelayan China yang dilindungan kapal coast guard. Meski berstatus sipil tetapi kapal-kapal penjaga pantai itu tentunya dilengkapi persenjataan lengkap nonmiliter.

Namun apa lacur, Prabowo justru mengeluarkan statemen "haram" setidaknya di tengah situasi yang panas. Bahwa China negara sahabat, semua orang di dunia juga paham. Bahwa kita memiliki hubungan baik secara ekonomi, menyangkut invenstasi dan perdagangan, semua juga tahu. Tetapi sikap cool sama sekali tidak dibutuhkan ketika gelora nasionalisme tengah membuncah.

Beda halnya jika pernyataan normatif semacam itu keluar dari menteri lain, atau bahkan presiden sekali pun. Lebih pas dan tepat. Tapi tidak untuk Menteri Pertahanan!

Narasi bahwa wilayah yang diklaim China bukan wilayah kedaulatan RI, melainkan hanya hak kuasa karena berstatus zona ekonomi eksklusif (ZEE) seperti disampaikan Juru Bicara  Kemenhan Dahnil Anzar Simanjuntak semakin melunturkan kesan "garang" Prabowo.

Bahkan pelajar STM juga tahu tentang hal itu, bahwa ZEE bukan wilayah kedaulatan, hanya hak eksplorasi. Mirip hak guna usaha (HGU) dalam konteks pertanahan negara. Bedanya ZEE berlaku tetap sedang HGU memiliki batas waktu. Tetapi apakah pemilik sertifikat HGU akan membiarkan tanahnya dimasukin orang lain, apalagi dieksplorasi?

Kita paham dan yakin Prabowo telah melakukan banyak langkah secara silent untuk menyelesaikan konflik Natuna. Tetapi saat itu masyarakat membutuhkan pernyataan terbuka untuk mengikat dan mengalirkan geloranya dari seorang Menteri Pertahanan. Ini tentang psikologi massa, bukan tentang perang dan damai, Bung!

Mirip dengan saat terjadi bencana, semisal banjir, tanah longsor atau gunung meletus.  Dalam kondisi demikian setidaknya ada dua hal yang dibutuhkan masyarakat, selain yang menyangkut kebutuhan dasar seperti evakuasi, bantuan medis dan makanan, yakni kehadiran pemangku kebijakan tertinggi di wilayah itu dan pernyataannya yang selaras dengan kebutuhan dan keinginan para korban.

Mengapa? Kehadiran pejabat negara memang tidak mampu mengembalikan mereka yang mati, tidak mampu menghapus duka. Tetapi dengan hadirnya "wakil negara" maka rakyat yang tengah ditimpa kesusahan kembali memiliki harapan untuk ke depannya. Harapan sangat penting di saat seperti itu. Bahkan karena itu, sebagian orang mampu melewati masa-masa yang paling sulit sekali pun.      

Ada luka di hati (mungkin sebagian besar) anak-anak bangsa ketika mendengar, membaca, berita wilayah negaranya  diobok-obok negara lain. Ini bukan karena China yang melakukan. Bukankah sebagian dari kita begitu "membenci" malingsia, eh maaf, Malaysia yang masih serumpun karena klaim-klaimnya tersebut?

Sangat disayangkan, harapan yang tertuju pada Prabowo, akhirnya kandas karena beberapa statemen yang kontra dengan itu.

Ke depan semoga hal-hal semacam itu tidak terulang. Kita masih menaruh harapan Prabowo dapat membawa Indonesia menjadi negara yang disegani. Bukan untuk mengancam negara lain, tetapi minimal tidak ada lagi negara yang seenaknya mencaplok wilayah kita, apa pun statusnya.  

Syukur dapat mengembalikan kebanggaan sebagai warga bangsa yang sudah terlanjur sepanjang hidupnya dicecoki tentang keberanian para pahlawan, tentang kehebatan nekek moyang di lautan. Jangan salahkan mereka ketika bermimpi para pemimpinnya dapat melakukan hal-hal yang sama.

Kita paham sepenuhnya, Menteri Pertahanan tidak boleh membuat kebijakan yang menyimpang dari visi-misi presiden. Tetapi menyuarakan gelora sebagian rakyat- dalam konteks Natuna, tentu bukan aib, buka pula penyimpangan dari visi-misi presiden. Jangan berlindung di balik "belenggu" itu!

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun