Jika hendak ditarik ke wilayah politik, klaim kemunculan kerajaan-kerajaan baru di Indonesia, mungkin berkaitan erat dengan kondisi saat ini. Meski klaim semacam itu sangat diragukan dan bahkan mungkin menyesatkan, namun langsung menuding sebagai tindakan menyimpang dari ajaran tertentu, apalagi menyebut sebagai tindakan pidana, tentu bukan tindakan bijak. Â
Sebelum muncul Keraton Agung Sejagat (KAS) di Desa Pogung Jurutengah Kecamatan Bayan, Purworejo, Jawa Tengah, masyarakat sudah terlebih dahulu digegerkan dengan kehadiran Kerajaan Ubur-ubur di Kota Serang, Banten. Â
Umur kerajaan pun tidak sampai setahun, apalagi  seabad. Rudi  dan istrinya, Aisyah yang menobatkan diri sebagai pemimpin Kerajaan Ubur-ubur harus berurusan dengan polisi karena sejumlah tindakannya, termasuk caci-maki terhadap Presiden Joko Widodo.
Di samping tudingan menyimpang dari agama, Rudi dan Aisyah sempat diamankan polisi. Dari hasil pemeriksaan medis, Rudi dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan sehingga tidak ditahan. Namun sekte Ubur-ubur pun langsung terkubur.
Bagaimana dengan KAS yang saat ini tengah menjadi perbincangan? Berbeda dengan Kerajaan Ubur-ubur, KAS cukup "rasional". Sejauh ini, sang pendiri, Totok Santosa Hadiningrat dan istrinya, Dyah Gitarja, tidak (atau mungkinm belum) membawa ajaran yang bertentangan dengan agama, apalagi klaim nabi atau ratu adil (dalam terminologi agama) seperti Rudy.
Setelah menobatkan diri sebagai raja, Totok Santosa dipangil Kanjeng Sinuwun dengan gelar Rakai Mataram Agung Joyokusumo Wangsa Sanjaya, Sri Ratu Indratanaya Hayuningrat Wangsa Syailendra.
Gelar semacam itu sangat lekat dengan gelar yang biasa dipakai oleh raja-raja Jawa. Bukan bermaksud menyamakan, Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X juga memiliki nama tahta yang sangat panjanga yakni  Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwaana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Bukan hanya klaim omongan, KAS juga sudah melakukan kegiatan keraton. Salah satunya menggelar acara wilujengan Keraton Agung Sejagat untuk menyambut kedatangan Sri Maharaja kembali ke tanah Jawa, setelah berakhirnya perjanjian 500 tahun sejak runtuhnya Majapahit.
"Perjanjian 500 tahun itu dilaksanakan oleh Dyah Ranawijaya sebagai penguasa terakhir Imperium Majapahit dengan Portugis sebagai wakil orang-orang barat yang merupakan bekas koloni kekaisaran Romawi. Perjanjian dibuat  di Malaka pada tahun1518," beber Kanjeng Sinuwun.
Untuk melengkapi klaimnya, Totok menggunakan isu yang cukup familiar di tengah masyarakat. Bahwa kekayaan Indonesia banyak yang dicuri orang Eropa (barat) sehingga harus diambil untuk kesejahteraan rakyat. Dan keraton yang dipimpinnya mengemban misi itu. tentu akan terdengar sangat mulia bagi yang tengah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Â
Jika hanya berhenti pada tataran budaya, KAS kemungkinan akan cukup memiliki nafas untuk eksis dan bertambah jumlah pengikutnya. Salah satu alasannya terkait kondisi politik dan ekonomi saat ini yang dapat menyebabkan sebagian kalangan kehilangan "pegangan" sehingga lari pada hal-hal yang irasional.