Berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) saat puncak banjir jumlah pengungsi di Jakarta mencapai  62.443 ribu jiwa. Hingga Jumat malam, atau sehari kemudian jumlahnya tinggal sekitar 10 ribu yang tersebar di Jakarta Timur (3.640 orang), Jakarta Barat (2.887 orang), Jakarta Selatan (4.209 orang), Jakarta Utara (738 orang), dan Jakarta Pusat (0).
Tetapi apakah data-data demikian berguna? Hanya satu-dua tulisan yang mencoba menyandingkan data sebagai bahan hujatan. Lebih banyak lagi yang hanya berdasar asumsi dicampur endapan kebencian karena faktor lain.
Banjir adalah bencana dan ketidakmampuan kita mengelolanya. Sebagai gubernur, Anies memiliki tanggung jawab untuk membuat kebijakan dalam rangka mengatasi hal-hal demikian. Kita tidak boleh hanya pasrah pada kehendak alam.
Faktanya, Anies seperti juga gubernur-geburnur sebelumnya, telah membuat serangkaian kebijakan untuk melawan tradisi banjir Jakarta. Kebijakan naturalisasi tidaklah haram.
Bahkan (akhirnya) Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono pun menyatakan antara normalisasi dan naturalisasi sama saja karena harus mengeruk dan melebarkan sungai. Bedannya hanya pada dinding yang diturap (beton) dalam normalisasi dan penghijauan dalam sistem naturalisasi.
Persoalannya adalah, baik normalisasi saat gubernur sebelumnya, yang dilanjutkan dengan naturalisasi Anies menjabat, belum selesai.
Tidak benar jika dikatakan normalisasi terhenti sejak 2017. Sebab konsep naturalisasi hanya untuk sungai besar sedang untuk sungai kecil tetap dilakukan normalisasi. Benar bahwa anggaran untuk penanganan banjir berkurang karena kebijakan naturalisasi memangkas biaya pembetonan dinding sungai!
Kritik hingga yang paling liar dan tanpa memberikan solusi pun tetaplah baik. Tetapi hujatan, makian bahkan menggunakan bencana yang terjadi, di tengah penderitaan mereka yang terdampak, sebagai bahan hoaks, sebagai sarana untuk menjatuhkan lawan tanpa melihat fakta dan data.
Sungguh hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kebencian akut dan dendam yang hanya terbalas manakala pihak, atau orang, yang dibenci menderita atau jatuh.
Itukah kita hari ini?
Dalam konteks politik, dendam atau target semacam itu, hanya akan melahirkan perlawanan balik yang mungkin tidak terduga dan tidak akan berkesudahan.