Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Banjir, Trigger yang Ditunggu Pembenci Anies

4 Januari 2020   15:11 Diperbarui: 5 Januari 2020   12:44 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajah Jakarta kala banjir. Foto: KOMPAS.com/Dokumentasi BNPB

Hujatan, cacian, hoaks hingga nafsu untuk menggulingkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terurar melebihi sebaran banjir yang meredan 15 persen lebih wilayah Ibu Kota.

Banjir kali ini menjadi trigger yang meledakan timbunan kebencian yang sudah lama tertanam akibat peristiwa sebelumnya.

Tidak susah untuk memetakan kembali lanskap politik DKI Jakarta (mungkin juga nasional) saat ini. Banjir seakan menjadi kaca pembesar untuk melihat dorongan jiwa, minimal preferensi politik sebagian nitizen, dan juga Kompasianer.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada penulis yang tetap objektif, dengan menghadirkan kritik tajam disertai data dan kondisi sebenarnya, apa yang tersaji di media sosial dan kolom komentar media-media mainstream, adalah gambaran, demikian itulah kita sebenarnya.

Menulis tanpa data yang jelas, apalagi objektif, bagi sebagian dari kita sah-sah saja karena mungkin bagian dari jalan perjuangan untuk menaikkan atau menjatuhkan seseorang.

Menuding pihak lain mabok agama seraya mendalilkan dan melakukan segalanya, termasuk dukungan politik atas dasar agamanya, dianggap halal.

Mengapa banjir kali ini disebut trigger? Jauh sebelumnya, hujatan dan cercaan di kolom-kolom komentar media mainstream yang menyajikan berita tentang Jakarta dan Anies Baswedan sudah dianggap sebagai kewajaran.

Kita permisif saja karena mungkin menyadari itulah cermin sejatinya diri kita yang bertahun-tahun lalu dimanipulasi dengan eufemisme. Dorongan untuk berkata kasar, memaki, dan menghujat adalah kita hari ini.

Banjir yang terjadi tanggal 17 Desember yang sempat menggenangi pelataran Senayan City dan sekitarnya, kurang "bertenaga" untuk menjadi pemicu karena hanya terjadi di wilayah sangat sempit dan dalam waktu sekitar 30 menit.

Meski cacian dan hujatan di media sosial, menjadi trending topic di Twitter dan puluhan "artikel" di Kompasiana, daya ledaknya sangat minim. Emosi belum tercurah tuntas, banjir sudah surut.

Endapan kebencian baru-baru meledak hingga purna ketika banjir menggenangi 63 titik di Jakarta, dari total 169 titik di seluruh Jabodetabek. Jakarta Selatan sebagai daerah paling terdampak di Jakarta, menyumbang 39 titik, diikuti Jakarta Timur 13 titik.

Berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) saat puncak banjir jumlah pengungsi di Jakarta mencapai  62.443 ribu jiwa. Hingga Jumat malam, atau sehari kemudian jumlahnya tinggal sekitar 10 ribu yang tersebar di Jakarta Timur (3.640 orang), Jakarta Barat (2.887 orang), Jakarta Selatan (4.209 orang), Jakarta Utara (738 orang), dan Jakarta Pusat (0).

Tetapi apakah data-data demikian berguna? Hanya satu-dua tulisan yang mencoba menyandingkan data sebagai bahan hujatan. Lebih banyak lagi yang hanya berdasar asumsi dicampur endapan kebencian karena faktor lain.

Banjir adalah bencana dan ketidakmampuan kita mengelolanya. Sebagai gubernur, Anies memiliki tanggung jawab untuk membuat kebijakan dalam rangka mengatasi hal-hal demikian. Kita tidak boleh hanya pasrah pada kehendak alam.

Faktanya, Anies seperti juga gubernur-geburnur sebelumnya, telah membuat serangkaian kebijakan untuk melawan tradisi banjir Jakarta. Kebijakan naturalisasi tidaklah haram.

Bahkan (akhirnya) Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono pun menyatakan antara normalisasi dan naturalisasi sama saja karena harus mengeruk dan melebarkan sungai. Bedannya hanya pada dinding yang diturap (beton) dalam normalisasi dan penghijauan dalam sistem naturalisasi.

Persoalannya adalah, baik normalisasi saat gubernur sebelumnya, yang dilanjutkan dengan naturalisasi Anies menjabat, belum selesai.

Tidak benar jika dikatakan normalisasi terhenti sejak 2017. Sebab konsep naturalisasi hanya untuk sungai besar sedang untuk sungai kecil tetap dilakukan normalisasi. Benar bahwa anggaran untuk penanganan banjir berkurang karena kebijakan naturalisasi memangkas biaya pembetonan dinding sungai!

Kritik hingga yang paling liar dan tanpa memberikan solusi pun tetaplah baik. Tetapi hujatan, makian bahkan menggunakan bencana yang terjadi, di tengah penderitaan mereka yang terdampak, sebagai bahan hoaks, sebagai sarana untuk menjatuhkan lawan tanpa melihat fakta dan data.

Sungguh hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kebencian akut dan dendam yang hanya terbalas manakala pihak, atau orang, yang dibenci menderita atau jatuh.

Itukah kita hari ini?

Dalam konteks politik, dendam atau target semacam itu, hanya akan melahirkan perlawanan balik yang mungkin tidak terduga dan tidak akan berkesudahan.

Itukah kehendak kita?    

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun