Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mundurnya Wakil Bupati Nduga Pukulan bagi Pemerintah Pusat

26 Desember 2019   15:23 Diperbarui: 27 Desember 2019   08:46 4138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkap layar akun Twitter @jayapuraupdate

Kabar mundurnya Wakil Bupati Kabupaten Nduga, Papua, Wentius Nimiangge mestinya mendapat perhatian pemerintah pusat karena alasan yang digunakan yakni kegagalannya meminta agar pasukan non-organik, TNI maupun Polri, ditarik dari daerahnya.

Namun respons yang diberikan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ternyata hanya normatif. Menurut Dirjen Penerangan Kemendagri Bahtiar, pihaknya baru mengetahui hal itu dari media dan akan mengecek kebenarannya ke Gubernur Papua selaku wakil pemerintah pusat di daerah.  

Terlepas apakah pengunduran diri Wentius serius atau hanya gimik untuk menekan pemerintah pusat mengabulkan permintaannya, tetapi fakta adanya ketidaknyamanan masyarakat Nduga terkait operasi yang menghadirkan pasukan non-organik, harus mendapat respons serius sebagai aspirasi masyarakat.

Permintaan Wentius bukan yang pertama. Jauh sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe membuat pernyataan kontroversial dengan meminta Presiden Jokowi menarik pasukan TNI dan Polri dari Kabupaten Nduga dengan alasan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat selama perayaan Natal dan Tahun Baru 2019.

Lukas juga mengancam akan memimpin tim tanpa melibatkan aparat TNI/Polri untuk menyelidiki dampak operasi keamanan pasca penembakan terhadap pekerja PT Istaka Karya yang tengah membangun Trans Papua oleh Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB).

Pernyaataan Lukas membuat berang TNI. Dalam rilisnya, Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih Kolonel Inf M Aidi menegaskan kehadiran aparat TNI di Kabupaten Nduga untuk melindungi rakyat dari kekejaman KKSB, bukan untuk membunuh rakyat.

Selengkapnya baca di sini.

Mundurnya Wentius akan menjadi pukulan telak bagi pemerintah Indonesia, bahkan melebihi peristiwa lain. Sedikitnya ada tiga hal yang perlu diwaspadai.

Pertama, pengunduran diri pejabat pemerintah akan dijadikan oleh pihak luar dan kelompok separatis sebagai alat pembenar adanya tindakan represif oleh aparat keamanan. Terlebih, seperti dirili Komnas HAM, eskalasi kekerasan di Nduga telah menyebabkan sejumlah orang tewas.

Menurut Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsar, dari informasi yang dihimpun oleh Komnas HAM dan laporan dari pengadu, lima orang tersebut tewas diduga dibunuh oleh tentara.

Kedua, hilangnya wibawa pemerintah di mata masyarakat, khususnya masyarakat Nduga dan Papua.

Ketiga, pengunduran diri Wentius bisa menjadi pemicu (trigger), terjadinya aksi serupa di daerah lain manakala permintaannya tidak dipenuhi pemerintah pusat.

Selain kekhawatiran terkait tiga hal di atas, pengunduran diri Wentius menjadi bukti kegagalan pendekatan pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat.

Panjang jalan tol dan puluhan jembatan yang berdiri selama pemerintahan Presiden Jokowi tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kekerasan baik yang diduga dilakukan oleh aparat maupun KKSB.

Kita menolak cara-cara yang dilakukan Wentius, termasuk permintaannya agar pasukan TNI dan Polri ditarik dari Nduga. Sebab sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah soal keamanan urusan pemerintah pusat.

Kepala daerah wajib memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI serta melaksanakan program strategis nasional.

Kita percaya kehadiran pasukan non-organik di Nduga dan daerah lain, sudah sesuai dengan situasi keamanan yang ada dan semata bertujuan untuk melindungi rakyat.  

Namun kita pun berharap pemerintah pusat, termasuk juga DPR, mau melihat secara objektif persoalan yang terjadi dan mengambil langkah-langkah pendekatan yang lebih mengena bagi masyarakat setempat. Salah satunya dengan membentuk tim untuk menjaring aspirasi masyarakat tanpa tendensi politik, apalagi kecurigaan berlebihan.

Mungkin saja, sekali lagi, mungkin saja mereka hanya ingin hidup damai meski tanpa jalan tol dan tanpa jembatan megah. Sebab dalam banyak kasus, kedamaian memang lebih mahal dibanding infrastruktur. Dengan demikian pendekatan pembangunan dapat diselaraskan dengan pendekatan lain yang lebih tepat.

Jika pun dari hasil temuan itu diambil keputusan untuk menarik pasukan non-organik, hal itu murni sesuai kondisi di lapangan, bukan dari hasil tekanan dari satu-dua pejabat politik.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun