Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Utak-atik Masa Jabatan Presiden, untuk Siapa?

28 November 2019   11:45 Diperbarui: 29 November 2019   05:51 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pimpinan MPR saat bertemu PBNU. Foto: KOMPAS.com/Fitria Chusna Farisa

Wacana Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengembalikan proses pemilihan presiden dan wakil presiden ke tangan MPR dapat mematik kembali menjadi pemicu perdebatan terkait sistem demokrasi yang sekarang kita anut. Benarkah lebih banyak mudarat dibanding manfaatnya?

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj menyebut wacana yang disampaikan dalam pertemuan dengan pimpinan MPR itu merupakan keputusan Munas NU di Cirebon 2012 lalu. Meski demikian kita tetap wajib mewaspadai agenda di baliknya.

Sebab wacana itu dicuatkan kembali bersamaan dengan bergulirnya isu amandemen kelima UUD 1945 yang menjadi agenda partai-partai besar, terutama PDI Perjuangan dan Golkar. Meski mati-matian meyakinkan amandemen hanya bertujuan memberi kewenangan penyusunan GBHN kepada MPR, namun sulit menafikan kemungkinan adanya agenda-agenda terselubung yang kelak muncul di tengah pembahasan.

Bahkan saat ini saja sudah terdengar dengungan untuk meninjau masa jabatan presiden yang tentunya akan semakin kuat terdengar manakala amandemen UUD sudah masuk pembahasan. Siapa yang berani menjamin wacana pemangkasan masa jabatan presiden menjadi satu periode dengan durasi 7-8 tahun, tidak berubah menjadi 3 periode dengan alasan kehendak rakyat?

Wacana yang ditawarkan PBNU bisa digunakan sangat mungkin bagian dari strategi untuk membuka pintu pasal-pasal yang terkait dengan masa jabatan presiden. Antusiasme Ketua MPR Bambang Soesatyo menanggapi keputusan Munas PBNU, sangat mungkin berkorelasi dengan 'janji' Bamsoet kepada PDIP yang telah mendukungnya duduk di posisi sekarang ini. 

Bukan tidak mungkin wacana yang disampaikan PBNU akan menjadi menjadi trigger untuk mengutak-atik masa jabatan presiden manakala isu pemilihan presiden oleh MPR ditolak.

Pertanyaannya, ke mana muara dari isu-isu itu dan untuk siapa?

Ibarat sebuah bangunan, demokrasi yang sudah kita lakoni sejak 1998, sudah semakin baik dan kokoh. Bahwa kemudian muncul satu-dua ekses negatif, tidak lantas dijadikan alasan untuk kembali ke masa sebelum reformasi.

Dampak negatif terbesar yang sering dikeluhkan elit politik adalah terjadi polarisasi dan gesekan sosial di tengah masyarakat dalam setiap kontestasi politik naik di level daerah maupun tingkat nasional. Kita pun tidak menutup mata adanya relasi yang menjadi longgar bahkan terputus akibat dukung-mendukung dalam sebuah gelaran politik.

Tetapi sampai hari ini, letupan-letupan yang terjadi di tengah masyarakat masih dalam taraf "normal", setidaknya jika dibandingkan dengan negara-negara lain, semisal India.

Munculnya fanatisme berlebihan yang berujung keributan "kecil" antar saudara, antar teman, tidak boleh dijadikan pembenar untuk mengerdilkan kedewasaan berpolitik masyarakat secara umum.

Justru para elit politik yang harus belajar lagi agar dapat berkontestasi secara fair dan bertanggung jawab. Tidak lagi menggoreng isu-isu sensitif, semisal menjual keminoritasannya sebagai bahan kampanye meraih simpati.

Alangkah lebih baik jika saat ini para elit politik dan pemangku kebijakan bekerja lebih maksimal dalam mewujudkan tujuan bernegara yakni mencapai masyarakat adil dan makmur. Lebih elok jika kekuasaan yang dimiliki dijadikan sarana untuk memenuhi janji-janji politiknya.

Sebab pengingkaran terhadap janji politik adalah racun paling berbahaya dalam demokrasi. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan sehingga kian apatis, bahkan menolak terlibat dalam kegiatan demokrasi. Itu lebih berbahaya dibanding alasan-alasan lainnya.

Jadi buang jauh-jauh syahwat politik untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara membongkar tatanan yang sudah baik menggunakan alasan-alasan klise.

Jika pun saat ini ada masalah terkait sistem demokrasi yang kita anut , mengembalikan pemilihan presiden melalui MPR atau penambahan masa jabatan presiden, jelas bukan solusinya.
Salam @yb

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun