"Korupsi" sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro tidak hanya berhenti di situ. Dengungan Pangeran Diponegoro hendak merebut tahta adiknya, Hamengku Buwono IV, terus dihidupkan.Â
Padahal dalam Babad Diponegoro yang ditulis selama pembuangan di Menado (1830-1833), Sang Pangeran telah menyampaikan dirinya tidak memiliki niat untuk memberontak. Diponegoro sadar, sebagai anak selir Sultan Hamengkubowo III, dirinya tidak memiliki hak untuk menjadi raja.
Fakta ini jarang diungkap. Bahkan buku biografi itu jarang dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah tanah air. Buku yang menurut Peter Carey sejajar dengan buku catatan Oliver Cromwell dari Inggris atau buku harian George  Washington, salah satu bapak pendiri Amerika Serikat, sempat dibiarkan tak terawat hingga akhirnya pada tahun 2013 lalu Unesco menetapkan Babad Diponegoro sebagai warisan ingatan dunia atau memory of the world.
Dalam situsnya, Unesco menyebut "Babak Diponegoro adalah catatan pribadi seorang tokoh kunci dalam sejarah Indonesia modern. Hal ini juga otobiografi pertama dalam sastra Jawa modern dan menunjukkan sensitivitas yang tidak biasa dengan kondisi lokal dan pengalaman".
Keberadaan Jalur Daendels yang membentang di pantai selatan Jawa Tengah, dari Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah hingga Kecamatan Brosot di Kulonprogo (Yogyakarta), kian menegaskan adanya upaya mengkorupsi sejarah Perang Jawa yang digelorakan Pangeran Diponegoro.
Salam @yb
*Diolah dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H