Presiden Joko Widodo akhirnya (meminjam istilah Kompas) melunak setelah terjadi gelombang protes mahasiswa dari seantero nusantara.
Setelah meminta DPR tidak mengesahkan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan (PAS) yang telah dibahas sebelumnya.
Jokowi pun mengisyaratkan kemungkinan menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang Undang (Perppu) sebagai pengganti UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebelumnya telah direvisi dan disahkan DPR bersama pemerintah.
Kemungkinan penerbitan Perppu KPK disampaikan Presiden Jokowi kepada wartawan usai bertemu sejumlah tokoh, termasuk Mahfud Md, di Istana Kepresidenan, kemarin.
Meski masih terbuka kemungkinan lain, yakni disahkan dan langsung diajukan kembali ke DPR untuk direvisi serta judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana saran Prof Mahfud.
Tetapi jika tujuannya untuk mengakomodir tuntutan mahasiswa dan juga aspirasi yang muncul dari berbagai kalangan lainnya- terutama akademisi, Perppu KPK harus menjadi opsi pertama.
Terlebih Mahfud juga menyebut kondisi saat ini sudah agak genting sehingga memenuhi syarat terbitnya Perppu. Seperti diketahui, salah satu syarat terbitnya Perppu adalah adanya kegentingan yang memaksa.
Kondisi demikian dapat ditafsirkan sebagai kondisi yang tidak aman atau di mana harus segera ada peraturan baru namun situasinya tidak memungkinkan untuk segera membentuk UU.
Dengan telah dipenuhinya hampir seluruh tuntutan mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat, maka tidak ada alasan bagi siapa pun untuk melanjutkan aksi parlemen jalanan.
Semua pihak yang concern terhadap KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, harus menahan diri, menunggu sampai UU KPK diundangkan untuk kemudian diganti dengan Perppu.
Menarik untuk mengandaikan Presiden benar-benar menerbitkan Perppu KPK. Pasal mana saja yang akan ditiadakan? Mungkinkah seluruh pasal dalam UU KPK hasil revisi yang menjadi sorotan publik akan dihapus alias mengembalikan ke UU No. 30/2002 yang asli?
Mari kita lihat kembali pasal-pasal yang dipersoalkan. Jika dikelompokkan maka pasal yang dipersoalkan adalah terkait pada status ad hoc KPK yang berubah menjadi bagian (rumpun) eksekutif sehingga mencederai sifat independensinya.
Kedua keberadaan Dewan Pengawas yang dapat mematikan metode pengungkapan praktek korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Sebab penyidik harus mendapatkan izin Dewan Pengawas sebelum melakukan penyadapan yang menjadi instrumen vital dalam sebuah OTT. Apakah izin diberikan atau ditolak diputuskan Dewan Pengawas setelah penyidik melakukan gelar perkara.
Ketiga, kewenangan untuk menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), dan keempat status pegawai KPK yang akan diubah menjadi aparatur sipil negara (ASN) karena telah menjadi bagian dari eksekutif.
Masih ada pasal-pasal lain, tetapi gema penolakkannya tidak sekuat kelompok pasal di atas.
Jika dilihat konteksnya, Perppu merupakan instrumen Presiden untuk mengatasi kondisi darurat. Dengan demikian, Perppu KPK kemungkinan hanya akan menghilangkan pasal-pasal yang menimbulkan kedaruratan (baca: demo mahasiswa).
Dengan bahasa lain, tidak semua pasal hasil revisi akan dibuang, apalagi mengembalikan ke UU KPK yang lama.
Jokowi kemungkinan akan tetap mempertahankan pasal terkait status KPK sebagai rumpun eksekutif dan Dewan Pengawas meski kewenangannya dikurangi. Jika sebelumnya harus meminta izin sebelum melakukan penyadapan, sangat mungkin dalam Perppu mendatang hanya wajib melapor terkait objek yang disadap- tidak perlu lagi meminta izin.
Dasar argumennya, Jokowi tentu harus juga mengakomodir kepentingan pemerintahan periode keduanya dan juga lawan politik di DPR agar Perppu tersebut diterima dan disahkan menjadi UU.
Jika KPK menjadi rumpun eksekutif, setidaknya Presiden memiliki jangkauan untuk “mengawasi” kinerja KPK melalui Dewan Pengawas.
Namun apa pun isi Perppu mendatang, Jokowi harus benar-benar cermat agar tidak diujikan ke MK. Ingat, MK memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap Perppu, bukan hanya UU. Alangkah sia-sianya jika sampai Perppu tersebut ditolak MK.
Para pendukungnya akan kehilangan celah untuk membenarkan langkah Jokowi. Sebab, jika kondisinya sudah demikian, maka narasi Jokowi "meminjam tangan" MK untuk menghadapi DPR akan terdengar sangat-sangat naif.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H