Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Beda Pendekatan Gus Dur dan Jokowi di Papua

4 September 2019   08:24 Diperbarui: 4 September 2019   17:02 2579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gus Dur dan Jokowi. Foto: istimewa

Rentetan unjuk rasa berujung kerusuhan yang terjadi di tanah Papua sebagai buntut aksi pengepungan dan ujaran rasis di asrama Mahasiswa Papua, dapat menjadi pembanding pola pendekatan yang dilakukan Presiden Joko Widodo dengan Presiden keempat KH Abdurahman Wahid (Gus Dur). Mana yang lebih tepat?

Sebelum menjawab, mari kita telisik beberapa hal menarik yang terjadi usai geger Papua.

Pertama, sejumlah tokoh Papua, termasuk anggota DPD Papua terpilih Yorrys Raweyai, menggelar pertemuan dengan Yenny Wahid. Mereka meminta putri Gus Dur tersebut ikut meredam gejolak di Papua.

Bahkan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara terang-terangan menyarankan pemerintah menunjuk keluarga Gus Dur sebagai juru runding masalah Papua.

Permintaan tersebut bukan tanpa alasan. Saat menjadi Presiden, Gus Dur melakukan pendekatan tidak biasa terhadap Papua.

Salah satu yang paling dikenang adalah ketika mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua dan memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora yang dianggapnya hanya sebagai umbul-umbul/identitas kedaerahan, bukan lambang kemerdekaan.

Gus Dur juga membantu pendanaan Kongres Rakyat Papua. Langkah itu dianggap nyeleneh, bahkan dikira menyetujui kegiatan separatisme.

Pada suatu kesempatan Manuel Kaisiepo (Menteri Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia era Presiden Megawati Soekarnoputri), menjelaskan hal itu dilakukan Gus Dur sebagai upaya membangun kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah.

Kedua, kerusuhan yang terjadi dengan eskalasi cukup luas seakan menafikan seluruh upaya yang telah dilakukan Presiden Jokowi, terutama dalam hal membangun infrastruktur di Papua. Massa merusak dan membakar sejumlah fasilitas pemerintah.

Masyarakat setempat seperti langsung "melupakan" Jokowi yang sudah wara-wiri ke Papua dan mereka pilih di Pilpres 2019. Jangan lupa, pasangan Jokowi --KH Ma'ruf Amin menang sangat tebal, sekitar 90 persen di Papua. Antara kerusuhan dengan ketokohan Jokowi seolah berjarak.

Jokowi pun mengaku bingung mengapa masyarakat Papua memberi penilaian yang berbeda antara dirinya dan pemerintah pusat. Seolah Papua hanya mau mendukung Jokowi tetapi tetap "memusuhi" Jakarta.

Padahal, Jokowi menerapkan pola pendekatan dialog dan kesejahteraan. Pemerintah telah menggelontorkan dana nyaris tak terhingga untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Di tahun 2018 saja, sedikitnya sudah Rp 92 triliun yang dikucurkan. Sementara Jakarta hanya menerima Rp 26 triliun dari Papua.

Mengapa Papua gampang sekali meledak di tengah derap pembangunan? Peristiwa kekerasan dalam lima tahun terakhir seolah memberi gambaran jika kucuran anggaran "tak terbatas" tidak berkorelasi dengan penurunan gejolak separatisme.

Ada tiga kemungkinan mengapa hal itu terjadi.

Pertama, gerojokan dana dan juga pembangunan yang digencarkan kemungkinan tidak memberi manfaat secara langsung. DAK, DAU --bahkan pembangunan jalan tol, dianggap hanya untuk memenuhi keinginan elit politik dan pengusaha besar, bukan masyarakat Papua secara umum.

Kedua, mereka memilih Jokowi karena lawannya dianggap membawa agenda kelompok puritan berhaluan keras. Persepsi itu dibangun sedemikian sehingga berbicara tentang Prabowo Subianto selama proses saat Pilpres 2019 adalah berbicara kelompok yang ingin mengubah Pancasila dengan sistem khilafah.

Masyarakat Papua yang mayoritas nonmuslim, kemungkinan terbawa isu tersebut dalam menentukan pilihan politiknya.

Ketiga, sebagian masyarakat Papua hanya menginginkan kemerdekaan, bukan pembangunan. Apa pun yang dilakukan Jakarta salah. Oleh karenanya, untuk menutup keberhasilan pembangunan, mereka meningkatkan aksi kekerasan.

Artinya, semakin kencang roda pembangunan berputar, akan semakin sering terjadi aksi kekerasan. Ada pihak-pihak yang tidak rela jika berita dari Papua jauh dari desingan peluru.

Dari uraian di atas, pola pendekatan Gus Dur ataukah Jokowi yang paling efektif? Untuk menentukannya tergantung sudut kepentingan yang digunakan. Jika hanya sekedar untuk menghentikan "kenakalan" tanpa mengatasi persoalan dasarnya, maka cara Gus Dur yang tepat.

Tetapi jika ingin mengurai dan mengatasi persoalan mendasar yang membelit Papua selama puluhan tahun- seperti kemiskinan dan ketertinggalan infrastruktur, maka pola pendekatan Jokowi yang benar.

Kini setelah bara Papua padam, pemerintah harus berani melakukan improvisasi terkait pola pendekatan yang digunakan. Pola pendekatan Jokowi tetap diteruskan tetapi dengan memberi kelonggaran terhadap ekspresi masyarakat yang selama ini mungkin dianggap tabu.

Kita sepakat untuk tidak memberi ruang aspirasi separatisme yang didengungkan dan diperjuangkan sekelompok orang. Tetapi kita pun meyakini, pola pendekatan yang kaku, terlebih disertai kokangan senapan, bukan solusi terbaik.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun