Padahal, Jokowi menerapkan pola pendekatan dialog dan kesejahteraan. Pemerintah telah menggelontorkan dana nyaris tak terhingga untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Di tahun 2018 saja, sedikitnya sudah Rp 92 triliun yang dikucurkan. Sementara Jakarta hanya menerima Rp 26 triliun dari Papua.
Mengapa Papua gampang sekali meledak di tengah derap pembangunan? Peristiwa kekerasan dalam lima tahun terakhir seolah memberi gambaran jika kucuran anggaran "tak terbatas" tidak berkorelasi dengan penurunan gejolak separatisme.
Ada tiga kemungkinan mengapa hal itu terjadi.
Pertama, gerojokan dana dan juga pembangunan yang digencarkan kemungkinan tidak memberi manfaat secara langsung. DAK, DAU --bahkan pembangunan jalan tol, dianggap hanya untuk memenuhi keinginan elit politik dan pengusaha besar, bukan masyarakat Papua secara umum.
Kedua, mereka memilih Jokowi karena lawannya dianggap membawa agenda kelompok puritan berhaluan keras. Persepsi itu dibangun sedemikian sehingga berbicara tentang Prabowo Subianto selama proses saat Pilpres 2019 adalah berbicara kelompok yang ingin mengubah Pancasila dengan sistem khilafah.
Masyarakat Papua yang mayoritas nonmuslim, kemungkinan terbawa isu tersebut dalam menentukan pilihan politiknya.
Ketiga, sebagian masyarakat Papua hanya menginginkan kemerdekaan, bukan pembangunan. Apa pun yang dilakukan Jakarta salah. Oleh karenanya, untuk menutup keberhasilan pembangunan, mereka meningkatkan aksi kekerasan.
Artinya, semakin kencang roda pembangunan berputar, akan semakin sering terjadi aksi kekerasan. Ada pihak-pihak yang tidak rela jika berita dari Papua jauh dari desingan peluru.
Dari uraian di atas, pola pendekatan Gus Dur ataukah Jokowi yang paling efektif? Untuk menentukannya tergantung sudut kepentingan yang digunakan. Jika hanya sekedar untuk menghentikan "kenakalan" tanpa mengatasi persoalan dasarnya, maka cara Gus Dur yang tepat.
Tetapi jika ingin mengurai dan mengatasi persoalan mendasar yang membelit Papua selama puluhan tahun- seperti kemiskinan dan ketertinggalan infrastruktur, maka pola pendekatan Jokowi yang benar.
Kini setelah bara Papua padam, pemerintah harus berani melakukan improvisasi terkait pola pendekatan yang digunakan. Pola pendekatan Jokowi tetap diteruskan tetapi dengan memberi kelonggaran terhadap ekspresi masyarakat yang selama ini mungkin dianggap tabu.