Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Zig-zag Politik PAN Memalukan!

5 Juli 2019   13:01 Diperbarui: 5 Juli 2019   13:08 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi bersama Ketua MPR Zulkifli Hasan. Foto: KOMPAS.com/Wisnu Widiantoro

Reserve dalam setiap keputusan politik wajib hukumnya, terlebih untuk partai-partai medioker. Tetapi ruang untuk melakukan antisipasi tersebut hendaknya tidak terlalu lebar, apalagi kemudian dijadikan opsi. Reserve harus tetap dimaknai sebagai pintu darurat manakala situasi berbeda sama sekali dengan prediksi awal.

Hal ini yang sepertinya gagal diejawantahkan sebagian pengurus Partai Amanat Nasional (PAN) dalam beberapa peristiwa politik terkini. Sikap mendua PAN sebelum memutuskan bergabung dengan Koalisi Adil Makmur  yang mengusung pasangan Prabowo Subianto -- Sandiaga Salahudin Uno di gelaran Pilpres 2019, awalnya dimaknai sebagai bagian dari proses tawar-menawar dalam rangka memperkuat posisinya.

Terbukti, setelah mendapatkan apa yang diinginkan, PAN cukup konsisten mendukung Prabowo -- Sandi dibanding Partai Demokrat. Inilah salah satu alasan mengapa Prabowo tetap menginginkan PAN padahal gabungan Gerindra dan PKS sudah melebihi presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR.  Terlebih setelah Partai Demokrat ikut bergabung.

Nyatanya, setelah proses pilpres selesai, PAN kembali gaduh. Penyebabnya terjadi tarik-ulur apakah menjadi oposisi ataukah bergabung dengan pemenang. Kegaduhan ini akhirnya mematik  beragam tanggapan, termasuk dari partai-partai pengusung Jokowi Widodo -- Ma'ruf Amin.  

Memang, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Jokowi -- Ma'ruf sebagai pemenang dan diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), ikatan koalisi pengusung kontestan pilpres usai. PAN, dan juga partai-partai lain, memiliki opsi apakah akan menjadi oposisi, netral dan tidak haram pula jika kemudian bergabung dengan pemenang.  Namun jika mengikuti fatsun politik, mestinya partai-partai pengusung calon yang kalah menjadi oposisi.

Sayangnya partai politik di Indonesia saat ini kebanyakan hanya menjadi kendaraan pemburu rente para pengurusnya, bukan memperjuangkan ideologi. Hanya PDI Perjuangan, dan belakangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang terlihat konsisten dengan ideologi perjuangannya dan berani "puasa" dari kekuasaan demi mempertahankan cita-cita partai. 

Selama 5 tahun terakhir, dan juga saat ini, PKS sama sekali tidak menunjukkan gestur ingin bergabung dengan pemenang. Hal yang juga dilakukan PDIP selama 2 periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kita tidak mengabaikan kemungkinan kegaduhan yang terjadi sengaja diciptakan dalam rangka menaikkan posisi tawar kepada Jokowi, sebagaimana yang dilakukan sebelum memberikan dukungan kepada Prabowo. Artinya, sebenarnya di tingkat elit pengurus PAN sudah ada kesepakatan untuk  bergabung dengan pemerintahan Jokowi -- Ma'ruf, tetapi masih belum mendapat kepastian "kue" yang akan didapat sehingga menciptakan reserve berupa suara-suara penolakan di bawah. Jika kelak "kue" yang ditawarkan Jokowi ternyata tidak sesuai, PAN akan menjadi oposisi dengan dalih mengikuti aspirasi penolakan dari bawah.    

Tetapi sepertinya sebagian elitnya lupa, saat ini PAN tidak dalam posisi tawar-menawar dengan Jokowi. Di samping sejumlah pengurus partai pendukung Jokowi -- Ma'ruf terang-terangan menolak, keikutsertaan PAN dalam pemerintahan mendatang diyakini tidak akan memberikan kontribusi signifikan. Bahkan dalam konteks perebutan kursi pimpinan MPR yang akan dilakukan secara voting, PAN yang memiliki sekitar 44 kursi "tidak diperhitungkan".

Kegaduhan yang terjadi saat ini justru menjadi bahan tertawaan kawan dan lawan karena seperti  berebut pepesan kosong.  PAN tidak perlu menciptakan pintu darurat karena kondisinya sendiri sudah darurat di mana pilihan yang tersedia sangat sempit. PAN tidak perlu menciptakan "seolah-olah" ada suara penolakan dari bawah ketika hendak bergabung dengan pemerintahan Jokowi -- Ma'ruf. Sebab PAN juga tidak akan digondeli kala memutuskan menjadi oposisi.

Bagaimana jika kegaduhan saat ini sebenarnyaterkait upaya mendapatkan kursi pimpinan MPR, bukan kursi kabinet? Seperti diketahui, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pernah melobi Presiden Jokowi terkait konfigurasi pimpinan MPR mendatang. Sangat mungkin Zulkifli ingin mempertahankan kursi ketua MPR yang tengah diduduki.  

Jika benar demikian, langkah Zulkifli kurang tepat. Pertama, partai koalisi pendukung Jokowi -- Ma'ruf tentu juga mengincar kursi pimpinan MPR. Bahkan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa  Muhaimin Iskandar sudah terang-terangan menginginkan kursi ketua MPR.

Tanpa PAN, koalisi Jokowi -- Ma'ruf yang memiliki lebih berpeluang memenangkan voting di MPR.  Dengan mengantongi sekitar 349 kursi (PDIP 129 kursi, Golkar 84 kursi, Nasdem 49 kursi, PKB 48 kursi dan PPP 19 kursi) atau 49 persen lebih dari total kursi MPR yang berjumlah 711, kubu pemerintah hanya membutuhkan 7 kursi lagi untuk merebut seluruh kursi pimpinan MPR. Seperti diketahui, anggota MPR merupakan gabungan dari anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berjumlah 136 kursi.  

Kedua, Jokowi tentu lebih sreg jika kursi pimpinan MPR dikuasai partai pengusung yang terbukti sudah berkeringat. Logikanya, restu Jokowi akan lebih mudah diberikan kepada Airlangga atau Muhaimin dibanding Zulkifli.    

Ketiga, Zulkifli justru lebih berpeluang mempertahankan kursi ketua MPR jika tetap menjadi oposisi. Meski gabungan suara pengusung Prabowo -- Sandi hanya 226 kursi (Gerindra 78 kursi, Demokrat 54 kursi, PKS 50 kursi dan PAN 44 kursi), namun jika bisa menggandeng DPD, peluang menang tetap terbuka.  

Tentu tidak menafikan jika suara anggota DPD tidak bisa bulat karena mereka tidak terikat arahan partai maupun organisasi lain, tetapi Zulkifli tentu bisa memainkan "peran lebih" untuk mengajak anggota-anggota DPD, seraya meyakinkan Demokrat untuk tetap berada dalam satu barisan sekalipun nantinya bergabung ke pemerintahan Jokowi -- Ma'ruf. Ingat, pemilihan pimpinan MPR dilakukan sebelum pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres 2019 yang aklan dilakukan 20 Oktober mendatang.

Akhirnya kita sependapat dengan Anggota Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo bahwa menjadi oposisi itu terhormat. Politik tidak konsisten atau zig-zag dalam istilah Dradjad, sangat memalukan. 

PAN harus berani tegas menentukan sikap yakni sebagai oposisi. Terlebih  pemerintahan Jokowi -- Ma'ruf ke sangat kuat karena ditopang partai-partai penguasa legislatif, sehingga membutuhkan oposisi yang kuat dan cerdas.

Salam @yb

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun