Keunggulan posisi petahana ternyata belum bisa dikonversi menjadi elektabitas. Hampir seluruh lembaga survei, mendapati tingkat keterpilihan Joko Widodo belum pernah menyentuh angka 60 persen. Mengapa capaian pembangunan dan ketokohan Ma'ruf Amien belum mampu mendongkrak elektabilitasnya?
Ungkapan petahana menang banyak yang menggambarkan berbagai keuntungan seperti capaian program kerja, fasilitas dan publikasi sepertinya tidak berlaku bagi Jokowi. Â Elektabilitas Jokowi masih berkutat di angka 52-56 persen.
Salah satunya seperti yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Â Berdasarkan hasil survei November 2018, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf 'hanya' 53,2 persen. Â Angka ini tidak berbeda jauh dengan hasil survei Litbang Kompas yang digelar pada 24 September-5 Oktober 2018 di mana pasangan petahana meraih 52,6 persen.
Satu-satunya lembaga survei yang menempatkan Jokowi-Maruf dengan elektailitas di atas 60 persen adalah Saiful Mujani Research Center (SMRC). Pada survei yang dirilis 7 Oktober 2018, petahana meraup 60,4 persen.
Terkait keberhasilan program pembangunan juga tidak selalu berbanding kurus dengan elektabilitas, jika keberhasilan itu tidak selaras kebutuhan  warganya. Dalam banyak kasus, program penguasa hanya memburu popularitas, dengan proyek-proyek mercusuar yang tidak memiliki korelasi langsung dengan hajat hidup masyarakat  banyak.
Siapa yang menyangkal keberhasilan Jokowi membangun jalan tol Jawa, trans Papua? Hanya mereka yang hatinya tertutup dengki sanggup mengingkari. Tetapi apakah pembangunan jalan tol memberi manfaat pada warga di Jawa terutama yang dilalui jalan tol? Itu soal lain. Silakan di data, berapa banyak sentra kuliner, rumah makan di sepanjang pantai utara yang mati setelah adanya jalan tol. Silakan ditanyakan kepada masyarakat Papua, mengapa akhir-akhir ini pekik separatisme kian lantang.
Pertanyaannya, mengapa di masa kampanye ini masyarakat tidak disuguhi data jika keberadaan jalan tol bukan hanya mempermudah perpindahan manusia dan barang, namun juga memberi manfaat bagi masyarakat di daerah-daerah yang dilalui?  Mestinya hal itu yang diekspose kubu petahana sebagai perimbangan kampanye  negatif kubu oposisi. Bukan malah sibuk mengomentari  cara kampanyenya.
Dari sini bisa diketahui mengapa elektabilitas Jokowi belum juga beranjak. Angkanya belum beranjak dari prosentase kemenangan di Pilpres 2014 yang sebesar 53,15 persen. Padahal di samping keberhasilan pembangunan, Jokowi juga mendapat tambahan dukungan dari dua partai yang sebelumnya berada di kubu oposisi yakni Golkar dan PPP.
Memasuki tahun 2019, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf harus berani mengambil inisiatif "menyerang" seperti yang pernah diserukan Ketua TKN Erick Thohir namun sampai saat belum terwujud. Sedikitnya ada tiga hal yang harus diserang dengan kampanye positif.
Pertama, isu agama. Ada pemahaman keliru di kubu TKN terkait isu agama. Ini bukan soal pribadi Jokowi dan Prabowo. Sebab fakta apapun sudah membuktikan Jokowi lebih "Islam" dibanding Prabowo.  Tetapi kampanye Jokowi memimpin sholat dan "mengejek" Prabowo  tidak bisa menjadi imam sholat, bukan jawabannya.