Sinyal dukungan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra ke kubu petahana Joko Widodo sudah terbetik sejak lama. Manuver Amien Rais ikut menjadi penentu perubahan sikap PBB. Meski tidak memiliki basis pendukung besar, namun dukungan PBB memberikan keuntungan signifikan kepada Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019.
Jika awalnya hanya Yusril yang bergabung dengan menjadi pengacara bagi pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, kini sinyal bergeraknya gerbong PBB ke Istana mulai nyata. Yusril mengaku sudah membahas dengan sejumlah pengurus daerah, meski secara resmi arah dukungan PBB baru akan diputuskan Januari mendatang.
Ketika bertemu Presiden Jokowi di Istana Bogor, akhir pakan lalu, Yusril secara demonstratif menunjukkan map berlogo PBB. Artinya dalam pertemuan tersebut Yusril tidah hanya "berbaju" pengacara, namun juga Ketua Umum PBB.Â
Tidak heran jika yang dibahas, seperti dituturkan Jokowi, soal ketatanegaraan, bukan nasihat apalagi strategi dalam menghadapi suatu perkara hukum sebagaimana umumnya pertemuan antara penasehat hukum dan kliennya.
Dukungan PBB sangat berarti bagi Jokowi setelah hengkangnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang merepresentasikan suara Islam modernis. Sebagai penerus cita-cita Partai Masyumi, partai Islam terbesar di Pemilu 1955, namun kemudian dibubarkan Presiden Soekarno tahun 1960 karena dianggap mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), PBB memiliki basis pendukung dari kelompok Islam puritan dan modernis.
Dukungan PBB akan menutup "kelemahan" pasangan Jokowi-Ma'ruf karena melengkapi dukungan kelompok Islam tradisional yang diwakili Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai kendaraan politik warga Nahdlatul Ulama (NU).
Penguatan isu Islam belakangan ini sulit dipungkiri digelorakan oleh kelompok Islam puritan yang mendapat sokongan dari umat Islam modernis. Kelompok ini berhasil mencuatkan isu perang ideologi antara Islam melawan kubu sekuler karena Jokowi merupakan kader PDI Perjuangan yang berhaluan nasionalis-sekuler.Â
Penegakan hukum terhadap sejumlah ulama, terutama Habib Rizieq Shihab yang telah menjadi ikon kelompok ini, berhasil didengungkan sebagai bentuk kriminalisasi terhadap Islam sekaligus perekat perjuangan. Â Â Â
Pertanyaan-pertanyaan apakah konstitusi negara di atas ataukah di bawah kitab suci (bukan hanya Al Qur'an), apakah Indonesia negara beragama (bukan hanya Islam) ataukah sekuler, menjadi titik didih paling laku dijual. Jokowi dan PDI Perjuangan kemudian menjadi "tertuduh" ketika jawabannya adalah konstitusi negara harus di bawah kitab suci dan Indonesia adalah negara beragama.
Namun jika PBB berada di gerbong Jokowi, setelah sebelumnya beberapa ulama modernis seperti Muhammad Zainul Majdi atau TGB juga bergabung, tuduhan tersebut dapat diminimalisasi. Jauh sebelum Rizieq Shihab dan kelompoknya menyuarakan konstitusi harus di bawah kitab suci, tokoh-tokoh Masyumi sudah kenyang berdebat di ring itu dengan tokoh-tokoh nasionalis maupun sekuler yang hasilnya kini tercermin dalam UUD 1945 dan Pancasila serta produk hukum di bawahnya. Â
Tetapi bukan hanya keuntungan yang didapat, Jokowi pun harus mewaspadai munculnya potensi gesekan di antara partai pendukungnya. Jika tidak dikelola dengan baik, benturan kepentingan dan ideologi antara PBB dengan PDI Perjuangan, bahkan PKB, tinggal menunggu waktu.