Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Kalah di Medsos, Serangan Darat Jokowi Terancam Gagal

28 November 2018   16:45 Diperbarui: 29 November 2018   06:50 2585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi dan Prabowo di acara deklarasi kampanye damai. Foto: KOMPAS.com/Maulana Mahardhika

Meski awalnya diragukan, namun kini pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno mulai unjuk elektabilitas. Bukan hanya unggul di media sosial (medsos), elektabilitas pasangan yang diusung Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat ini kian mendekati pasangan petahana Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Media Survei Nasional (Median) merilis hasil sigi yang cukup mengejutkan karena pendukung pasangan Prabowo - Sandiaga unggul dari pasangan Jokowi-Ma'ruf di semua pengguna medsos utama yakni Facebook, Twitter dan Instagram. Bahkan di Twitter marginnya sangat besar yakni 58,2 persen berbanding 29,5 persen

Padahal Jokowi memiliki 10,6 juta pengikut di Twitter, sedang Prabowo hanya 3,3 juta. Selisih pengikut keduanya di Facebook juga tidak terlalu jauh di mana Prabowo unggul dengan 9,6 juta sedang Jokowi 8,7 juta.

Kekalahan pasangan Jokowi-Ma'ruf di medsos sebenarnya sudah tercoum sejak penetapan pasangan calon oleh KPU. Polling Iwan Fals bisa menjadi rujukan.  Dalam polling yang digelar di akun penyangi legendaris ini dari tanggal 9-11 Agustus 2018, Jokowi-Ma'ruf kalah telak karena hanya mengantongi dukungan 27 persen sedang Prabowo-Sandiaga 68 persen, di mana 5 persen lainnya tidak memilih alias golput.

Ternyata kemenangan di medsos memiliki korelasi dengan kenaikan elektabilitas secara signifikan setidaknya jika dilihat dari tiga lembaga survei berikut ini.

Pertama, Median. Dalam survei yang digelar 4-16 November 2018, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf mencapai  47,7 persen sedang Prabowo-Sandiaga hanya 35,5 persen. Namun selisih keduanya kini tinggal 12,2 persen padahal pada Juli lalu masih 13,1 persen.

Kedua, Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Elektabilitas Prabowo-Sandiaga melesat menjadi 31,2 persen pada survei bulan November 2018, jika dibandingkan survei bulan September 2018 yang hanya 25,7 persen. Pada saat bersamaan elektabilitas Jokowi turun dari semula 57,7 persen menjadi tinggal 53,2 persen

Ketiga, Indikator Politik Indonesia. Tidak jauh berbeda dengan LSI Denny JA, hasil survei Indikator menunjukkan elektabilitas Jokowi--Ma'ruf  unggul jauh di angka 57,7 persen dibanding Prabowo-Sandiaga yang hanya 32,3 persen. Tetapi angka itu menunjukkan kenaikan tajam karena pada survei bulan Maret 2018, elektabilitas Prabowo hanya 12,1 persen.

Hasil survei-survei tersebut menjadi menarik jika dikaitkan dengan pernyataan Jokowi di Palembang, Sumatera Selatan, beberapa waktu lalu. Saat itu Jokowi mengatakan, serangan udara yakni melalui media, termasuk media sosial, sudah tidak efektif. Pengaruhnya sangat kecil. Demikian juga dengan tebaran baliho di setiap sudut daerah. Jokowi meminta kepada relawannya untuk melakukan serangan darat yakni mendatangi langsung calon pemilih.

Apakah ini sebagai respon langsung terhadap kecenderungan pemilih di medsos?  Apakah tim survei internal Jokowi- yang menyebut elektabilitas Jokowi-Ma'ruf di Sumsel hanya 37 persen, juga sudah mendapat gambaran seperti yang terpetakan dari hasil survei Median?

Jika benar demikian, posisi Jokowi benar-benar tidak aman. Keunggulan elektabilitas saat ini sangat mungkin terus tergerus mengingat masa kampanye masih 4 bulan lebih yakni hingga April 2019.

Dalam kurun waktu itu, hal-hal yang awalnya hanya ramai di medsos sangat mungkin sudah menjadi realita manakala gaya kampanye dan pola pendekatan yang dilakukan tim kampanye Jokowi-Mar'uf tidak segera diubah.

Tim Jokowi-Ma'ruf harus berani masuk ke substansi yang menjadi pertanyaan publik seperti asumsi ketimpangan penegakan hukum, besaran utang yang akan menjadi beban di masa mendatang, lapangan pekerjaan dan terutama meminimalisir polarisasi masyarakat atas dasar isu-isu berbalut agama dan kesukuan.

Sebab kuatnya polarisasi dan dukung-mendukung, hingga memakan korban, bukan semata karena ketidakdewasaan masyarakat dalam berdemokrasi, namun juga bentuk kegagalan elit dalam mengemas perbedaan politik. Masing-masing kubu asyik menebar serangan pribadi ke siapa saja yang dianggap lawan, seraya melegalkan diksi dan narasi kekerasan di ruang-ruang publik.

Bagi pemilih rasional, dan milenial yang banyak mengikuti perkembangan politik baik di dalam maupun luar negeri, kondisi saat ini akan dijadikan sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan pilihan. Mereka umumnya tidak menghendaki situasi semakin tak terkendali dan mengharapkan ada perubahan secara signifikan.

Salam  @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun