Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Blunder Mulu, Prabowo Butuh Tim Perias

26 November 2018   15:33 Diperbarui: 27 November 2018   15:42 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengemudi ojek online di Surabaya memperotes pernyataan Prabowo. Foto: KOMPAS.com/Achmad Faizal

Jika dipilah, ada dua tema besar yang tengah dikumandangkan dua calon peserta kontestasi eletoral bertajuk Pilpres 2019. Pasangan nomor urut 01 Joko Widodo -- Ma'ruf Amin ingin mengembalikan isu lama yang sudah dikuasai, sementara pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno mencoba bermain pada isu-isu aktual.

Persoalannya, Jokowi tahu persis kekuatan isu yang dulu ditebar  lawannya, meski hasilnya belum tentu demikian. Hoax Jokowi antek atau aktivis PKI sudah dihembuskan lawan sejak sebelum Pilpres 2014, ternyata tidak menggerus elektabilitasnya secara signifikan. Buktinya, Jokowi menang dan elektabilitasnya cenderung stabil hingga hari ini. Jika isu tersebut kemudian didaur-ulang oleh lawan, Jokowi dan timnya sudah tahu bagaimana mematahkan sekaligus membalikkannya menjadi kekuatan.

Dari sisi ini kita bisa memahami mengapa Jokowi rajin membantah haox dirinya PKI padahal jika dilihat dari arus pemberitaan saat ini, maupun isu-isu yang bertebaran di media sosial, isu tersebut cenderung meredup. Jika pun masih ada, sasarannya lebih kepada PDIP, bukan Jokowi. 

Namun tidak demikian halnya dengan Prabowo. Isu-isu aktual yang coba dimainkan, terutama soal kesenjangan sosial dan ekonomi, kurang dikemas. Bahkan beberapa kali terlihat kedodoran sehingga terkesan asal lempar. Terlebih ketika diwawancara dadakan (doorstop) oleh wartawan.

Salah satunya yang cukup fatal adalah ketika Prabowo mengatakan menghormanti kebijakan politik Australia jika  akan memindahkan kedutaan besarnya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Pernyataan tersebut untuk menjawab pertanyaan wartawan asing di sela-sela acara  Indonesia Economic Forum 2018 di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (21/11) lalu. Meski Koordinator Juru Bicara   Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut pernyataan Prabowo dipelintir, namun penjelasan yang diberikan justru kian menegaskan "kesalahan" Prabowo.

Konstitusi kita jelas menentang segala bentuk penjajahan di muka bumi termasuk yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina. Seluruh Presiden Indonesia, termasuk Bung Karno dan Pak Harto, tegas menolak mengakui Israel dan aktif melobi negara-negara lain agar melakukan hal serupa. Presiden Jokowi juga ikut bersuara keras menentang pemindahan kedubes Amerika Serikat ke Yerusalem. Mestinya, sebagai calon presiden di negara yang mayoritas penduduknya menolak penjajahan Israel, jawaban Prabowo mencerminkan semangat itu.

Kita tidak menafikan adanya upaya character assassination sehingga apa pun pernyataan Prabowo, juga Sandiaga digoreng. Tampang boyolalai, lulusan SMA jadi sopir ojek online dan lain-lain menjadi ramai karena adanya framing. Tetapi kubu Prabowo tidak bisa semata bersandar pada hal itu karena pernyataan Jokowi dan Ma'ruf Amin pun sering diolah sehingga sisi negatifnya yang menonjol.

Belajar dari "kesalahan fatal" terkait rencana pemindahan kedubes Australia ke Yerusalem, sudah saatnya Prabowo "dirias" sebelum bertemu wartawan, atau berpidato tanpa teks. Salah satu caranya, tim kampanyenya menyiapkan tema-tema teraktual disertai kisi-kisi yang mungkin ditanya wartawan atau akan dilemparkan ke publik.

Tetapi perias ini menjadi tidak penting jika ternyata "kesalahan" tersebut sebenarnya disengaja untuk "mencuri" panggung publik sehingga narasi yang produksi sengaja untuk memancing kontroversi.

Sebab hal demikian sudah dilakukan Sandiaga dan terbukti efektif. Narasi tentang tempe setipis ATM dan rambut petai mampu mendominasi ruang-ruang publik sampai kurun waktu sebulan. Nama Sandiaga menjadi perbincangan dan akhirnya dikenal publik hingga ke pelosok. Andai menggunakan iklan, bayangkan berapa dana yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sedemikian masif.

Tetapi harus diingat, jika konteksnya gimmick, ruang-ruang publik yang dikuasai tidak akan sebanding dengan elektabilitas yang diraih ketika isu yang dilempar kurang tepat, apalagi jika terlalu sensitif. Tidak ada bedanya dengan gimmick perselingkuhan atau konten pornografi. Meski masyarakat tahu dirinya korban, tetapi simpati yang didapat tidak sertamerta berbuah elektabilitas. Terlebih gimmick yang bersifat pop, hanya bertahan sesaat, dan yang tersisa kemudian hanya narasi selingkuhnya atau gambar pornonya.  

Dalam kasus pernyataan Prabowo, maka bulan depan yang tersisa hanya narasi 'Prabowo mendukung pemindahan kedubes Australia ke Yerusalem', zonder penjelasan apapun karena sudah menguap.

Dari paparan tersebut, kita meyakini pernyataan-pernyataan kontroversial Prabowo bukan gimmick sehingga harus dieliminir dengan didampingi tim perias isu agar ke depan tidak ada lagi kesalahan semacam itu.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun