Presiden Joko Widodo kembali membuat istilah mengejutkan. Setelah mengimbau relawannya tidak mencari musuh tapi berani kalau diajak berantem, lalu menyebut politikus sontoloyo, kini Jokowi melontarkan jargon baru yakni politik genderuwo. Siapa yang dimaksud?
Politik genderuwo diucapkan Jokowi ketika memberikan sambutan pada acara pembagian sertifikat tanah untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Jokowi menilai saat ini banyak politikus yang tidak beretika. Jokowi mencontohkan politik dengan propaganda yang menakutkan dengan tujuan menciptakan kekhawatiran dan ketidakpastian sehingga pada akhirnya masyarakat menjadi ragu-ragu.
"Itu namanya politik genderuwo, nakut-nakuti," ujar Jokowi.
Pernyataan Jokowi yang juga petahana pada Pilpres 2019 berpasangan dengan KH Ma'ruf Amin memang cukup menggelitik. Pihak yang dimaksud pun tidak sulit ditebak karena secara logika Jokowi tentu tidak sedang mengkritik timnya sendiri sehingga sangat mungkin yang dimaksud adalah tim lawan yakni para politikus yang berada di kubu pasangan Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno.
Bahkan politisi PKB Abdul Kadir Karding menduga yang dimaksud genderuwo dalam pidato Jokowi salah satunya adalah Prabowo. Sebab, menurut Karding, Prabowo sering melontarkan pesimisme, pernyataan yang agitator dan propagandis terkait hal-hal yang menakutkan.
Namun demikian, tidak menafikan juga Presiden Jokowi tengah berbicara dalam konteks kenegarawanan sehingga padanan genderuwo ditujukan kepada semua politisi yang suka menggunakan cara-cara yang menakutkan. Kedua kubu juga sama-sama sudah membantah sebagai pihak yang gemar menakut-nakuti masyarakat demi meraih tujuan politiknya.
Kita justru tertarik dengan seringnya Presiden Jokowi menggunakan istilah-istilah yang "seram" baik dalam konteks an sich maupun perumpamaan. Istilah berani berantem dan sontoloyo dalam konteks relasi di tengah masyarakat, khususnya Jawa, justru memiliki konotasi menyeramkan dan sedikit kasar sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pihak lain.
Sebagai pengingat, kata berantem diucapkan Jokowi saat berpidato di depan relawannya di  Sentul Convention Center, Bogor, Jawa Barat pada Sabtu 4 Agustus 2018. Kata itu diucapkan setelah terlebih dahulu meminta relawannya untuk melakukan kampanye yang simpatik, jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran-ujaran kebencian. Jangan membangun fitnah-fitnah, tidak usah suka mencela. Tidak usah suka menjelekkan orang lain, tapi kalau diajak berantem juga berani.
Sedang kata sontoloyo diucapkan Jokowi ketika membagikan sertifikat tanah untuk rakyat di Lapangan Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa, 23 Oktober 2018. Saat itu Jokowi mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati karena banyak politikus baik-baik tapi banyak juga politikus sontoloyo.
Kini Jokowi kembali mempopulerkan istilah genderuwo. Padahal menyamakan atau setidaknya menyebut pihak lain sebagai genderuwo, sangat tidak bijak dan terkesan ada amarah di dalamnya. Mengapa?
Pertama, genderuwo dipahami sebagai makhluk halus bertampang seram, berwujud manusia, bertubuh besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan yang dipenuhi bulu seperti kera. Mitos genderuwo hanya ada di Pulau Jawa, bahkan "rumahnya" konon di sekitar hutan jati di Wonogiri dan lemah putih  Purwosari Kulonprogo Yogyakarta.
Satu hal lagi, genderuwo dikenal sebagaia makhluk cabul karena suka menggoda wanita yang tengah kesepian. Genderuwo bisa menjelma menjadi mirip seseorang yang tengah dirindukan sepertti suami atau pacar.
Kedua, genderuwo identik dengan ungkapan kasar seperti "dasar genderuwo" atau "biar dimakan genderuwo". Artinya kata genderuwo hanya dilontarkan oleh mereka yang tengah marah. Jika pun dalam konteks bercanda, penyebutan genderuwo termasuk kategori candaan kasar selevel "setan", "asu", dan lain-lain.
Mirisnya, Prabowo juga sering menggunakan istilah-istilah yang buruk seperti "indonesia bubar" "asing dan aseng" serta yang terbaru dan sempat menuai kontroversi adalah ungkapan "tampang boyolali". Sebagaimana pendukung Jokowi, kubu Prabowo pun membela ungkapannya dengan menyebut sebagai candaan.
Kita berharap para politisi tidak gampang menggunakan istilah-istilah yang tidak menunjukkan diri sebagai pemimpin dan calon pemimpin. Sopan santun sebagai jati diri bangsa harus tetap dikedepankan dengan sungguh-sungguh, namun bukan sebagai tameng untuk menutupi ketidakmampuan diri, apalagi perbuatan jahatnya.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H