Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief mengatakan jika ingin memenangkan Pilpres 2019, calon presiden Prabowo Subianto harus aktif bertemu rakyat. Selama ini, menurut Andi Arief, Prabowo terkesan malas-malasan.
Bukan hanya itu. Andi Arief pun menambahi cuitannya melalui akun Twitter- yang disebutnya otoktirik, dengan membandingkan sikap Prabowo dan aktifitas calon wakil  presiden Sandiaga Uno. Mantan aktivis ini lantas bertanya siapa yang sebenarnya ingin menjadi presiden.
Cuitan Andi Arief langsung disambar juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga. Politisi Perindo ini menyebut jika Sandiaga yang terus muncul, dipastikan Prabowo akan kalah melawan pasangan petahana Joko Widodo -- Ma'ruf Amin.
Kemunculan Sandiaga, menurut mantan aktivis media ini, tidak membawa peningkatan elektoral bagi Prabowo. Untuk itu, jika masih malas-malasan, Arya menyarankan Prabowo segera lempar handuk putih alias menyerah.
Kita tidak tahu motivasi keduanya ketika melempar kesimpulan demikian. Lontaran Andi Arief mungkin didorong keinganan agar Prabowo berkunjung ke Lampung, daerah asal Andi Arief. Â Sedang lontaran Arya mungkin sebentuk ungkapan tulus karena ingin melihat pertandingan yang sebenarnya antara Prabowo dengan Jokowi.
Tetapi tidak menutup kemungkinan, sahutan Arya  terhadap cuitan Andi Arief justru sebagai ekspresi "ketakutan" melihat sepakterjang Sandiaga Uno.
Seperti diketahui kemunculan Sandiaga benar-benar di luar dugaan publik dan para pengamat, bahkan partai pendukung koalisi Prabowo sendiri. Saat itu nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufrie dan  Komandan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono lebih mengemuka. Bahkan Prabowo terang-terang sudah meminta Anies mendampinginya sesuai skenario sebelumnya,
Namun Anies menolak. Ada beberapa hal alasannya. Pertama, Anies ingin memenuhi janjinya kepada warga Jakarta. Beberapa program kampanyenya bahkan belum dilaksanakan. Jika langsung ditinggal, tentu akan menimbulkan citra buruk karena seolah suatu jabatan hanya dijadikan batu loncatan untuk meraih jabatan lainnya yang lebih tinggi.
Kedua, Anies tidak ingin berhadapan dengan Jokowi karena akan dikesankan adanya balas dendam mengingat Jokowi pernah memecatnya dari jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Meski survei CSIS menunjukkan masyarakat tidak puas dengan pemecatan tersebut, namun Anies tidak ingin menjadi pihak yang ikut melestarikan politik balas dendam. Â
Prabowo akhirnya memilih Sandiaga Uno sebagai pendampingnya. Padahal  saat itu elektabilitasnya diragukan, karena namanya tidak pernah muncul pada survei-survei terkait capres dan cawapres. Ada dugaan Prabowo memilih Sandiaga sebagai kompromi mengingat seluruh partai pendukungnya, di luar Gerindra memiliki calon masing-masing, termasuk PAN yang belakangan mendorong Ustad Abdul Somad yang sebelumnya direkomendasikan GNPF Ulama bersama Salim Segaf.
Sandiaga tentu tidak ingin  hanya dipandang sebagai ban serep. Totalitasnya dibuktikan dengan langsung mundur dari jabatan Wakil Gubernur DKI jakarta sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Â
Sandiaga menggebrak dengan melakukan roadshow ke sejumlah daerah, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sandiaga terlihat berupaya masuk ke kantong-kantong Nahdlatul Ulama (NU). Meski PKB sebagai kendaraan politik warga NU, mendukung Jokowi-Ma'ruf, namun kehadiran Sandiaga ternyata cukup diterima.
"Saya akan mendorong program santripreneur nantinya," ujar Sandiaga ketika ngopi bareng emak-emak di Surabaya. Santripreneur adalah salah satu program yang ditawarkan Sandiaga kepada para santri di pesantren yang menjadi basis NU.
Jika Sandiaga berhasil memecah suara NU, maka hal ini menjadi warning serius bagi kubu Jokowi-Ma'ruf. Sebab kubu Islam di luar NU, seperti Muhammadiyah yang juga memiliki anggota terbesar kedua di Indonesia setelah NU, diyakini "bulat" mendukung Prabowo-Sandiaga.
Artinya, roadshow Sandiaga bagian dari strategi terukur, bukan asal muncul. Bahkan mungkin memang disengaja karena elektabilitas Prabowo cenderung stagnan. Mendorong Prabowo akan sia-sia. Namun tidak demikian halnya dengan Sandiaga yang elektabilitas belum diketahui.
Selain terkesan humble, apa adanya, Sandiaga juga memiliki kelebihan lain yakni berada dalam satu barisan dengan kelompok milenial. Jika Jokowi harus menggunakan idiom-idiom tertentu agar bisa "diterima" kelompok milenial, Sandiaga diam pun sudah menjadi bagian dari kelompok ini. Meski demikian soal keterpilihan, masih memerlukan variabel lain seperti track record dan visi-misi. Â
Sandiaga juga mampu mendekatkan dirinya dengan calon pemilih melalui istilah-istilah yang rigid menjadi familiar dan mudah dipahami yang disebut oleh pengamat disebut politik dumbing down. Istilah tempe setipis ATM dan tempe saset adalah contoh bagaimana Sandiaga tidak memerlukan buzzer untuk memviralkan istilah tersebut karena lawan sudah dengan "senang hati" ikut mempopulerkan! Â Â
Wajar jika kemudian kubu Prabowo lebih sering "memajang" Sandiaga. Bahkan mulai muncul anggapan, elektabilitas Sandiaga akan menjadi penentu menang-kalahnya Prabowo di gelaran elektoral kali ini. Â
Dari pemahaman ini, lupakan soal Prabowo lempar handuk atau malas. Â Ini strategi, Bung!
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H