Ini bukan jumlah yang kecil. Mari kita hitung dengan perkiraan jumlah pemilih 185 juta. Kita ambil suara sah nasional sebesar 70 persennya yakni sekitar 129,5 juta. Dengan demikian 4 persennya adalah 5 juta suara lebih.
Sebagai perbandingan, pada Pemilu 2014, PDIP sebagai partai pemenang mendapat 23.681.471 suara (18.95 persen), dan Hanura sebagai partai paling buncit yang lolos ke parlemen mengantongi 6.579.498 suara (5,26 persen). PBB yang gagal ke Senayan hanya mendapat 1.825.750 suara (1,46 persen).
Pemilu 2019 semakin berat bagi partai-partai medioker seperti PAN dan PKS karena kehadiran 4 partai baru yang cukup agresif terutama Perindo yang ditopang media dan dana besar. Meski ada penambahan jumlah calon pemilih, tetapi kemungkinan ada suara yang lari ke partai baru, tetap besar.
Kedua, pemilu dan pilpres serentak ternyata berpotensi menjadi kuburan bagi partai-partai kecil. Sekilas mereka diuntungkan karena membawa capres yang memiliki elektabilitas lebih tinggi. Tetapi tanpa disadari, mereka sebenarnya juga tengah mempromosikan partai asal capres.
Benar, pilpres dan juga pilkada lebih bersifat personal, bukan kepartaian. Ketokohan calon lebih menjadi pertimbangan dibanding partai pengusung- meski di beberapa daerah hal itu tidak berlaku.
Tetapi pemilih PDIP, contohnya, tidak akan beralih ke PSI atau Perindo sekalipun sama-sama mengusung Jokowi. Bahkan kemungkinan yang terjadi justru sebaliknya, suara "binaan" PSI atau partai lainnya, beralih ke PDIP dengan pertimbangan untuk memperkuat posisi Jokowi.
Logikanya sederhana saja, jika PSI besar, belum tentu akan terus mendukung Jokowi, atau jika PAN besar belum tentu juga akan terus loyal kepada Prabowo.
Hal itu yang dikhawatirkan Andi Arief dan mungkin para petinggi Demokrat lainnya- dengan catatan, tanpa menafikan alasan ini hanya dijadikan alas pembenar sikap menduanya.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H