Imbauan JK justru memancing kepanikan yang lebih besar. Ibarat pengumuman di suatu daerah di mana masyarakat dilarang membawa senjata tajam. Bukan menciptakan kedamaian tetapi malah membenarkan jika situasinya tidak aman.
Pelemahan rupiah juga berdampak langsung terhadap beban pembayaran utang luar negeri yang berdenominasi mata uang asing, terutama dollar AS. Dengan proyeksi dollar Rp 14.400 saja, sebagaimana asumsi yang digunakan dalam APBN 2019, beban pembayaran bunga utang dan cicilan pinjaman tahun 2019 sudah tembus Rp 400 trilun.
Bagaimana jika angka Rp 15.000 per dollar tetap bertahan atau malah kian terpuruk di tahun 2019 mendatang? Jumlah uang yang harus disediakan pemerintah untuk membayar cicilan dan bunga pinjaman dipastikan melampaui Rp 400 triliun seperti yang diasumsikan dalam APBN 2019.
Dampak lainnya adalah terjadinya lonjakan utang pemerintah secara signifikan. Dengan asumsi dollar Rp 14.400, utang pemerintah per Juli 2018 sudah Rp 4.253 triliun di mana yang dalam bentuk valuta asing setara dollar Amerika Serikat mencapai 125 miliar atau sekitar Rp 1.800 triliun. Jumlah tersebut membengkak menjadi Rp 1.875 triliun saat kurs 15.000 alias melonjak Rp 75 triliun.
Untuk memahami betapa besar nilai Rp 75 triliun, bisa dilihat perbandingannya dengan APBD 2018 sejumlah daerah. Misalnya APBD DKI Jakarta yang 'hanya' sekitar Rp 77 triliun, Jawa Barat Rp 33 triliun, Jawa Timur Rp 30 triliun dan Lampung Rp 7,5 triliun.
Benar, pelemahan nilai tukar rupiah menguntungkan eksportir dan pekerja di luar negeri yang digaji dengan mata uang setempat. Persoalannya, berapa jumlah masyarakat yang menikmatinya?
Kita sepakat, depresiasi rupiah saat ini berbeda dengan 1998. Kondisi ekonominya pun berbeda. Tetapi sentimen negatif (sekedar tidak mengatakan ketidakpercayaan) terhadap pemerintah ikut menyumbang keterpurukan rupiah. Artinya, pelemahan rupiah masih akan berlanjut jika pemerintah tetap ngotot dengan asumsi-asumsi yang tidak sejalan dengan logika masyarakat sehingga memperbesar sentimen negatif.
Pemerintah harus berani mengoreksi beberapa kebijakan populis yang ternyata membebani keuangan negara. Penundaan sejumlah proyek infrastruktur besar dengan bahan baku impor, sudah tepat sebagai salah satu upaya mempersempit defisit perdagangan.Â
Pemerintah juga harus berani menaikkan harga BBM karena jika terus dipertahankan, justru bisa menjebol APBN karena membutuhkan subsidi yang sangat besar.Â
Tidak perlu ditutup-tutupi jika selama ini subsidi BBM masih besar. Untuk tahun 2018 saja, subsidi BBM yang disatukan dengan subsidi energi mencapai Rp 163,49 triliun tahun, dari total subsidi energi sebesar Rp 228,15 triliun.
Tentu jika pemerintah mencabut habis subsidi BBM akan menyebabkan lonjakan harga secara signifikan. Bahkan BBM jenis Pertalite kemungkinan bisa tembus di atas Rp 10.000 per liter sehingga dampaknya bukan hanya soal ekonomi, namuni mungkin juga berimbas ke ranah politik. Tetapi terus mempertahankan subsidi di tengah lonjakan dollar, juga tidak bijak.