Persoalannya, di banyak daerah gerakan tagar ganti presiden tidak memiliki basis, meski mungkin memiliki struktur kepengurusan, sehingga agar kegiatan tersebut memiliki greget, perlu menghadirkan tokoh dari Jakarta. Situasinya akan berbeda jika saja gerakan ini sudah masif dan benar-benar "kehendak" mayoritas masyarakat.
Keempat, gerakan ganti presiden adalah gerakan banci karena tidak memiliki kejelasan apakah murni sebagai gerakan masyarakat atau partai politik. Meski mereka mengklaim sebagai gerakan masyarakat tetapi siapa yang percaya karena isinya politisi, bahkan inisiatornya politisi PKS. Tidak mengherankan jika kemudian para penolaknya juga dari politisi dan relawan partai lawan, bukan masyarakat nonpartisan.Â
Kelima, Pilpres 2019 hanya diikuti oleh dua pasangan yakni pasangan petahana Joko Widodo -- Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno. Meski tidak pernah menyebut Prabowo sebagai ganti Jokowi, tetapi karena tidak ada calon lain, maka sulit menghindari tudingan jika mereka yang menghendaki ganti presiden adalah pendukung Prabowo. Dengan demikian, dengan sendirinya mereka tertolak oleh pendukung Jokowi.
Beda andai Pilpres 2019 diikuti oleh minimal tiga pasangan, gerakan tagar ganti presiden lebih leluasa bergerak dan bebas berdalih tidak mendukung siapa pun.
Namun kegagalan memasifkan gerakan ganti presiden bukan tolok ukur hasil Pilpres 2019. Seperti disebutkan pada poin kedua, mungkin saja banyak masyarakat yang memiliki kehendak serupa, tetapi enggan bergabung dengan gerakan tersebut karena tidak ingin terdampak sisi negatifnya.Â
Salam @yb
*Diolah dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H