Gerakan politik bertagar 2019 ganti presiden mulai mendapat angin setelah sejumlah pihak, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak mempersoalkannya. KPU dan Bawaslu tidak mengangapnya sebagai pelanggaran kampanye karena saat ini memang belum ada pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Sedang Polri, pada prinsipnya tidak melarang kegiatan yang didasarkan pada UU nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Hanya saja Polri, sebagaimana telegram rahasia Mabes Polri ke daerah yang beredar di grup-grup media sosial, mewajibkan adanya pemberitahuan secara tertulis kepada Polri dengan melampirkan proposal, susunan pengurus organisasi hingga denah rute yang akan dilalui jika kegiatan tersebut berupa pawai sebagaimana diatur PP Nomor 60/2017.
Walau pun terlambat, telegram tersebut bisa menjadi acuan para kapolda dan kapolres di daerah dalam menyikapi kegiatan politik bertagar, bukan hanya ganti presiden tapi juga yang beraroma dukungan kepada petahana. Dengan demikian tidak ada lagi kebingungan seperti sebelumnya di mana ada daerah yang mengizinkan, namun ada juga yang menolak.
Apakah dengan adanya "pengakuan" KPU dan kejelasan tata cara perizinan, gerakan tagar 2019 ganti presiden yang sudah menjadi isu nasional, otomatis akan menjadi gerakan masif yang melibatkan masyarakat secara luas? Kemungkinan tidaklah demikian.Â
Kehadiran ribuan orang di acara deklarasi seperti di Batam dan Makasar, belum bisa diklaim murni aspirasi masyarakat, karena bisa saja disebakan oleh rasa penasaran akibat pemberitaan media, dan hal-hal di luar subtansi gerakan. Bahkan kita curiga, massa yang hadir merupakan kader-kader partai tertentu.
Sedikitnya ada lima hal yang bisa dijadikan alasannya mengapa gerakan ganti presiden tetap tidak bisa menjadi gerakan semesta.
Pertama, gerakan ini diinisiasi oleh Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera dan digaungkan oleh kader-kader PKS baik melalui unjuk kekuatan di lapangan, seperti arena car free day, maupun media sosial. Kentalnya warna PKS menyebabkan mudahnya masuk isu keterkaitan kelompok tertentu yang selama ini sudah dicap sebagai agen khilafah, utamanya Hizbut Tahrir Indoneia (HTI).
Beredarnya video bendera HTI pada salah satu acara tagar ganti presiden, kian menguatkan asumsi tersebut, meski siapa yang mengibarkan belum dapat dipastikan karena baik kader PKS maupun HTI tegas membantah. Isu jika tagar ganti presiden disusupi kepentingan HTI, membuat masyarakat awam, bahkan yang juga menginginkan perubahan kepemimpinan nasional, enggan bergabung. Â
Kedua, kehadiran aktor kontroversial. Nama Ahmad Dhani, Neno Warisman dan Ratna Sarumpaet menjadi ikon kontrovesi setidaknya dalam dua tahun terakhir. Pernyataan-pernyataan mereka kerap melawan arus utama.Â
Bahkan Ahmad Dhani, pada demo-demo sebelumnya, sering mengeluarkan ujaran-ujaran provokatif yang merendahkan kewibawaan presiden sehingga kelompok mahasiswa dan kaum intelektual hingga masyarakat umum yang ingin bergabung menjadi ragu-ragu. Bukan saja kuatir terkena imbas hukumnya, namun juga bisa "merendahkan" kredibilitas dirinya.
Ketiga, tidak memiliki basis yang kuat di tengah masyarakat. Dari pemberitaan yang tersaji selama ini, penolakan muncul terhadap kegiatan yang dihadiri tokoh dari luar, utamanya trio Dhani, Neno dan Ratna yang sudah mendapat label sebagai penghasut dari yang kontra. Mereka yang menolak tagar ganti presiden dengan enteng mengatakan pihaknya tidak melarang aspirasi ganti presiden tapi menolak kehadiran tokoh luar yang ingin mengganggu ketentraman daerahnya.
Persoalannya, di banyak daerah gerakan tagar ganti presiden tidak memiliki basis, meski mungkin memiliki struktur kepengurusan, sehingga agar kegiatan tersebut memiliki greget, perlu menghadirkan tokoh dari Jakarta. Situasinya akan berbeda jika saja gerakan ini sudah masif dan benar-benar "kehendak" mayoritas masyarakat.
Keempat, gerakan ganti presiden adalah gerakan banci karena tidak memiliki kejelasan apakah murni sebagai gerakan masyarakat atau partai politik. Meski mereka mengklaim sebagai gerakan masyarakat tetapi siapa yang percaya karena isinya politisi, bahkan inisiatornya politisi PKS. Tidak mengherankan jika kemudian para penolaknya juga dari politisi dan relawan partai lawan, bukan masyarakat nonpartisan.Â
Kelima, Pilpres 2019 hanya diikuti oleh dua pasangan yakni pasangan petahana Joko Widodo -- Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno. Meski tidak pernah menyebut Prabowo sebagai ganti Jokowi, tetapi karena tidak ada calon lain, maka sulit menghindari tudingan jika mereka yang menghendaki ganti presiden adalah pendukung Prabowo. Dengan demikian, dengan sendirinya mereka tertolak oleh pendukung Jokowi.
Beda andai Pilpres 2019 diikuti oleh minimal tiga pasangan, gerakan tagar ganti presiden lebih leluasa bergerak dan bebas berdalih tidak mendukung siapa pun.
Namun kegagalan memasifkan gerakan ganti presiden bukan tolok ukur hasil Pilpres 2019. Seperti disebutkan pada poin kedua, mungkin saja banyak masyarakat yang memiliki kehendak serupa, tetapi enggan bergabung dengan gerakan tersebut karena tidak ingin terdampak sisi negatifnya.Â
Salam @yb
*Diolah dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H