Dengan demikian, melihat peta politik saat ini, tidak ada satu partai politik pun yang bisa mengusung pasangan capres dan cawapres tanpa berkoalisi sehingga peserta Pilpres 2019 maksimal hanya mungkin  diikuti tiga pasang calon. Adanya ambang batas sekaligus menutup peluang bagi partai baru untuk mengusung pasangan calon.
Memang pada pilpres sebelumnya juga digunakan ambang batas yang sama. Bedanya, Pilpres 2014 dilaksanakan setelah pemilu legislatif. Saat UU-nya diketok, belum diketahui prosentase perolehan tiap-tiap partai yang akan dijadikan dasar penghitungan ambang batas.Â
Sedang pada 2019, pelaksaaan pilpres dan pemilu legislatif digelar serentak sementara basis untuk menghitung ambang batas menggunakan hasil pemilu lima tahun sebelumnya yang sudah diketahui. Ada kesan, presidential threshold untuk Pilpres 2019 diketok berdasarkan hitung-hitungan untuk mengamankan jalan Jokowi merengkuh periode kedua, bukan berdasar aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat.
Kedua, memperbanyak partai pendukung Jokowi melalui pembagian kursi di kabinet. Golkar, PPP, bahkan PAN yang masih kanan-kiri oke, sudah diberi peningset. Tujuannya untuk mengunci agar tidak terbentuk poros di luar Jokowi dan Prabowo.
Ketiga, mengamankan Prabowo. Ini strategi yang paling brilian. Jokowi tahu peta kekuatan Prabowo. Mau dipaksa pakai isu apa pun, perolehan suara Prabowo sulit melampaui Jokowi. Buktinya? Seluruh hasil survei, bahkan yang dilakukan oleh Gerindra, elektabilitas Prabowo belum pernah melampaui Jokowi. Bahkan di saat isu PKI dan anti Islam mencapai titik tertinggi yakni di medio 2016-2017. Silahkan lihat hasil survei semua lembaga di rentang waktu tersebut.
Benar, saat ini hasil survei sulit dijadikan pegangan akibat "kesalahan" fatal di dua momen besar yakni Pilkada 2017- khususnya DKI, dan Pilkada 2018, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Bahkan jika mau ditarik ke belakang, lembaga survei juga sudah dipermalu saat Pilgub DKI 2012 di mana pasangan petahana Foke-Nara yang selalu unggul dalam survei dipecundangi Jokowi-Ahok.
Tetapi ada fakta menarik yang bisa dijadikan tambahan penguat argumen di atas yakni dua kali kekalahan Megawati Soekarnoputri dari Susilo Bambang Yudhoyono yakni di Pilpres 2004 dan 2009 dengan perolehan suara nyaris sama. Di Pilpres 2004 putaran pertama, Megawati -- Hasyim Muzadi memperoleh 26,61 persen, dan di putaran kedua 39,39 persen, sedang SBY 33,57 persen dan 60,62 persen.
Di Pilpres 2009 yang hanya diikuti 3 pasangan, hanya berlangsung satu putaran karena SBY sudah memperoleh 60,8 persen dan Megawati- yang berpasangan dengan Prabowo, hanya mendapat 26.79 persen, nyaris sama dengan putaran pertama Pilpres 2004. Artinya Megawati hanya memiliki 26 persen pemilih loyal. Penambahan hingga 13 persen di putaran kedua Pilpres 2004 berasal dari pemilih mengambang (floating mass).
Hal yang sama terjadi juga pada SBY di mana perolehan suara di putaran kedua Pilpres 2004 nyaris serupa perolehan suara di Pilpres 2009 yakni di kisaran 60 persen.
Akankah hasil Pilpres 2019 akan sama dengan Pilpres 2014? Jika melihat hasil survei dan kecenderungan loyalitas pemilih, maka jawabannya sangat mungkin meski Prabowo mendapat tambahan dukungan Demokrat. Â
Dan kemungkinan fakta itu juga yang digunakan tim Jokowi ketika mendorong Prabowo untuk kembali mencalonkan diri. Tidak tanggung-tanggung, yang melobi agar Prabowo mau rematch dengan Jokowi adalah Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, hingga diucapkan sendiri oleh Jokowi  saat "berlatih kuda" di kediaman Prabowo di Hambalang.