Prabowo Subianto jelas bukan pion Joko Widodo. Tetapi fakta membuktikan, ketua umum Partai Gerindra itu mudah luluh jika Presiden sudah meminta tolong. Berangkat dari situ, kita akan membedah mengapa Pilpres 2019 benar-benar sudah sesuai skenario atau racikan Jokowi, dengan berapa catatan.
Presiden Jokowi merasakan betul dampak negatif dari polarisasi kekuatan pendukungnya dan pendukung Prabowo usai Pilpres 2014.
Perbedaan pilihan berubah menjadi caci maki dan saling hina dengan sandaran agama dan kesukuan. Saling serang bukan hanya di media sosial, namun juga portal-portal pemberitaan di jagat maya, termasuk portal berita arus utama. Situasi terus memanas dan nyaris meledak karena ditumpangi kepentingan tangan-tangan tak terlihat yang memproduksi  isu dengan balutan kekecewaan dari massa lalu.
Isu tersebut menemukan momentum perekatnya karena adanya aksi dari internal - setidaknya yang berada di kubu, Jokowi. Buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI" yang merupakan otobiografi dokter Ribka Tjiptaning Proletariati yang terbit tahun 2003 atau saat Presiden Megawati berkuasa, dan naiknya Basuki Tjahaja Purnama yang non Muslim ke kursi gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Jokowi ke Istana Merdeka adalah dua contoh aksi yang dijadikan alat pembenar atas isu-isu tersebut. Â Â Â Â
Di sisi lain tengah terjadi ghirah keagamaan (Islam). "Santri internet" belajar dari situs-situs berpaham "radikal" tanpa filter, tanpa guru, sehingga banyak di antaranya yang menelan begitu saja terhadap tafsir yang disodorkan tanpa berusaha mencaritahu apakah hadits yang disampaikan sebagai dasar argumen sahih, hasan atau bahkan mungkin dhaif (lemah).
Meski ghirah nasionalisme (dan keagamaan di luar Islam) juga tidak kalah menggelegak, namun dalam hal jumlah (produksi dan dibagikan), ujaran kebencian terhadap tokoh agama (Islam) lebih sedikit dibanding terhadap tokoh nasionalis seperti Jokowi.
Sebagai contoh, jika kita menggunakan keyword "jokowi pki" akan ditemukan 3.060.000 result, sedang jika menggunakan keyword "habib mesum" didapati 1.770.000 Â (sampai 12/8/18 pukul 09.34 WIB). Hasil pencarian akan jauh lebih sedikit lagi jika menggunakan keyword "rizieq mesum".
- {Namun contoh tersebut masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Dan sebagai catatan, harus juga dipahami tulisan negatif belum tentu diproduksi dan diviralkan oleh lawan. Dalam banyak kasus, tulisan yang menyerang tersebut justru dibuat oleh timnya sendiri dengan tujuan menjadikan dirinya sebagai korban (playing victim)}. Â
Jokowi paham dan mulai cemas melihat situasi yang terjadi. Jika kontetasi Pilgub DKI saja mampu menaikkan suhut politik nasional- Jokowi menyebutnya hangat, bagaimana jika situasi yang sama terjadi di ajang pilpres? Â
Untuk mencegah hal itu terjadi, Jokowi dan kubunya, lantas melakukan antisipasi, dengan sedikitnya  tiga hal.
Pertama, membatasi jumlah peserta kontestasi. Partai-partai kubu pemerintah mati-matian mengamankan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Pembahasan UU Nomor 7 Tahun 2017 menyangkut presidential threshold sangat alot karena pemerintah (baca: Jokowi) menghendaki ambang batas 25 persen kursi di DPR maupun suara nasional hasil Pemilu 2014.Â
Sedang kubu oposisi, meminta nol persen. Angka 10-15 persen pun ditolak pemerintah. Akhirnya dalam lobi-lobi terakhir disepakati 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional hasil Pemilu 2014.