Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Demi AHY, SBY Akhirnya Kibarkan Bendera Putih

10 Agustus 2018   20:49 Diperbarui: 14 Agustus 2018   07:14 2037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasih ayah sepanjang panjang. Sekejam-kejamnya politik ternyata masih menyisakan ruang kasih sayang. Setidaknya itu yang dapat ditangkap di balik keputusan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerah dengan mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno si kontestasi Pilpres 2019.

Padahal keputusan Prabowo memilih Sandiaga Uno, bukan Komandan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bak tsunami, bukan hanya bagi SBY namun juga kader-kader Demokrat.

Tidak heran jika reaksi Wakil Sekjen Demokrat Andi Arief begitu frontal dengan menyebut Prabowo jenderal kardus dan menuduh PKS dan PAN menerima mahar masing-masing Rp 500 miliar sehingga mau mendukung pasangan Ketua Umum Partai Gerindra dan Wakil Gubernur DKI (saat itu).

SBY dan jajarannya juga harus melakukan beberapa kali rapat sebelum mengambil keputusan. Opsi meninggalkan Prabowo lebih nyaring, meski dukungan untuk merapat ke kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin juga hanya sayup-sayup. Banyak yang kemudian meyakini SBY akan memilih opsi netral seperti halnya pada Pilpres 2014.

Tetapi seperti yang sudah kita ketahui, SBY memutuskan tetap berada di kubu Prabowo. Dalam pidato politik yang mengharukan, AHY mengakui kegagalannya dan meminta maaf karena belum bisa mewujudkan keinginan pendukungnya.

Ya, dengan bergabung ke kubu Prabowo tanpa AHY menjadi cawapres, sekalipun ada janji power sharing manakala kelak Prabowo menang, tentu sebuah kekalahan telak bagi seorang SBY yang pernah dua kali memenangkan pilpres melawan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang berada di kubu Jokowi.

Lalu mengapa SBY akhirnya mau menerima kekalahan itu? Bukankah jauh lebih gagah jika memilih netral dan pastinya akan disambut gempita para pendukungnya yang tengah terluka dengan sikap Prabowo? Terlebih SBY bukan tipe politisi yang mudah tergiur jabatan dan uang dengan cara menggadaikan partai. SBY selalu ingin menjadi king maker dalam setiap keputusan politik yang diikuti.

Ada beberapa kemungkinannya. Pertama, SBY gagal meyakinkan PKB dan PPP untuk bergabung dalam poros alternatif dengan PAN. SBY kehabisan waktu karena baik Prabowo maupun Jokowi memutuskan cawapresnya di menit terakhir.

Kegagalan SBY merupakan buah dari kegamangan Jokowi memutuskan cawapres. Boleh saja pendapat yang mengatakan hal itu bagian dari strategi untuk mengunci lawan, tetapi fakta bahwa Jokowi mengubah keputusannya dari Mahfud MD kepada Mahruf Amin hanya dua jam sebelum diumumkan, menjadi bukti sahih, tak terbantahkan.

Jokowi menyerah ketika PKB dengan dibantu PBNU menekan dan mengancam akan menarik dukungan jika tetap memilih Mahfud- yang saat itu sudah fitting baju untuk deklarasi agar seragam dengan Jokowi.

Dengan berat hati Jokowi pun membatalkan pilihannya pada Mahfud yang sudah menunggu cukup lama di restoran yang lokasinya tidak jauh dari tempat Jokowi dan para pengurus partai pendukung berkumpul. Konon Jokowi sempat meminta maaf ketika mengundang Mahfud ke Istana usai acara deklarasi.

Kegagalan SBY membujuk PKB dan PPP, kemungkinan membuatnya goyah. Keyakinan akan kepiawaiannya meracik strategi dan meyakinkan pihak lain, ternoda. Terlebih sebelumnya, seperti pengakuan SBY meski sulit dipercaya,  dirinya gagal mencapai kesepakatan dengan Jokowi padahal sudah melabukan lobi intensif selama setahun.

Mengapa sulit dipercaya? Sebab sangat mungkin pernyataan tersebut memiliki tujuan lain seperti memancing kemarahan Megawati karena diam-diam Jokowi membangun komunikasi dengan SBY.    

Kedua, SBY merasa sudah bisa "mengendalikan" Prabowo yang sebenarnya hanya dijadikan second choice. Sambil terus merayu partai lain- hal ini dibantah keras kader-kader Demokrat, SBY memasang AHY kepada Prabowo.

Sialnya, Prabowo pun tampak seperti mengamini sehingga SBY tidak melakukan antisipasi. Jika saja SBY sudah memiliki antisipasi, keputusan Prabowo menggandeng Sandiaga tentu tidak sampai menimbulkan kegemparan hebat di tubuh Demokrat.

Sekali lagi, SBY terpukul ketika salah membaca langkah politik Prabowo .

Ketiga, dua pukulan beruntun itu akhirnya menyudahi "ego" SBY. Tidak ada pilihan lain bagi SBY kecuali membiarkan Pilpres 2019 tanpa cawe-cawe dirinya. Namun masih ada AHY yang harus diselamatkan karir politiknya. Jika Demokrat hanya menjadi penonton, seperti pilpres sebelumnya, tentu akan menurunkan daya tawar AHY, bahkan mungkin elektabilitasnya.

Bagaimanapun perhatian masyarakat tengah tersedot ke pilpres sehingga kegiatan apa pun yang akan dilakukan AHY, jika tidak berhubungan dengan pilpres, tidak akan mendapat tempat.

Dengan bergabung ke salah satu kubu, AHY akan memiliki kegiatan yang berhubungan dengan pilpres dan harapan kelak bisa masuk ke kabinet sambil menunggu gelaran pilpres berikutnya. Demi AHY, akhirnya SBY menandatangani dukungan untuk Prabowo -- Sandiaga, meski tanpa senyum.

Mengapa ke Prabowo, bukan Jokowi?      

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun