Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Mengapa Jokowi Takut Umumkan Cawapres?

8 Agustus 2018   08:25 Diperbarui: 8 Agustus 2018   21:52 2606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Widodo | Foto: Warta Kota/Nicolas Manafe

Petahana menang banyak. Ungkapan itu tentu bukan didasari rasa iri, apalagi syirik, tetapi memang begitu adanya, terlebih bagi petahana presiden. 

Dengan alasan tidak ada penjabat sementara atau pelaksana tugas presiden, maka presiden tidak perlu cuti panjang bahkan saat masa kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diikuti. Karena jabatan Presiden melekat, maka dalam kampanye pun presiden tetap dilindungi pasukan pengawal presiden.

Tentu masih banyak hal-hal yang bisa disebut sebagai "menang banyak" dibanding lawannya. Bahkan jika melihat sikap Tenaga Ahli kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin, Presiden Joko Widodo yang tengah bersiap mengikuti Pilpres 2019 dengan status petahana, diuntungkan lebih banyak lagi. 

Sebab Ngabalin merangkap tugas negara sekaligus benteng pribadi Jokowi. Hal itu terlihat saat Ngabalin menyerang PAN yang diisukan hendak merapat ke kubu Jokowi.

Jika Ngabalin menyerang mereka yang mengkritik pembelian saham Freeport, sah saja, sebab pembelian saham itu merupakan kebijakan pemerintah. Tetapi menyerang PAN karena mau masuk koalisi Jokowi, apa hubungannya dengan KSP? 

Mengampanyekan Jokowi dua periode dengan tagline lanjutkan-lawan-libas, justru membenarkan tudingan jika KSP sarang tim pemenangan Jokowi.

Mestinya dengan banyak kemenangan yang didapat, Jokowi lebih mudah menentukan siapa calon wakil presidennya. Dan kita meyakini calon itu memang sudah diputuskan Jokowi sejak lama. Persoalannya, mengapa belum diumumkan? Mengapa menunggu sampai menit terakhir?

Ada dua kemungkinannya.

Pertama, Jokowi ingin mengacaukan kubu lawan. Bahkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang sejak lama diyakini akan kembali menantang Jokowi, sempat goyah karena diberi "harapan palsu" posisi cawapres. 

Prabowo kehilangan banyak waktu untuk konsolidasi karena isu akan menjadi cawapres Jokowi jelas melemahkan semangat kader-kadernya yang menginginkan dirinya nyapres. Koalisi "permanen" dengan PKS, yang sudah cukup menjadi kendaraan pengusung, juga sempat tidak jelas.

Sikap tarik-ulur Jokowi juga membuat Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbuai. Jika klaimnya benar, berarti SBY telah menghabiskan waktu setahun hanya untuk mengikuti genderang yang ditabuh Jokowi. Kondisi yang sama bisa saja terjadi pada PKB.

Jika saja sejak lama siapa cawapres Jokowi pengganti Jusuf Kalla bisa "dibaca", situasi hari ini tentu berbeda. Sangat mungkin SBY dan juga Prabowo lebih intens membangun kekuatan- meski belum dalam posisi koalisi, untuk menyiapkan "perang" di pilpres.

Kedua, mengunci dan melumpuhkan partai pendukung agar tidak memiliki waktu membangun komunikasi dengan kubu lawan, atau bahkan hengkang jika keinginannya, terutama untuk posisi cawapres, tidak terakomodir. 

Ambil contoh PKB. Dengan digantungnya posisi cawapres hingga menit terakhir, setidaknya sampai dua hari sebelum penutupan pendaftaran bagi pasangan capres dan cawapres di KPU, PKB hanya bisa menunggu apakah Jokowi akan menggandeng sang ketum Muhaimin Iskandar ataukah tidak. Jika ternyata tidak, PKB sudah kehabisan waktu untuk membangun koalisi baru.

Tetapi jika mau sedikit menelisik ke belakang, siapa cawapres yang diinginkan Jokowi sebenarnya sudah bisa "diketahui". Jokowi membutuhkan pendamping yang bisa membentengi dirinya, bisa menjadi jangkar ke kubu Islam dan tidak ambisius. Poin terakhir menjadi utama karena Jokowi tipe single fighter dan --meminjam istilah Setya Novanto, agak koppig.

Jika  Muhaimin benar-benar punya keinginan posisi cawapres karena merasa memiliki pendukung besar, mestinya sudah tahu tokoh yang diinginkan Jokowi. 

Minimal Muhaimin bisa mengukur kekuatan tokoh-tokoh di sekitar Jokowi yang berpotensi menjadi pesaingnya dan memahami keinginan Jokowi di tengah realitas politik saat ini. Dengan demikian Muhaimin tidak perlu menunggu dalam kebimbangan, "mengerahkan" santri dan kyai untuk menekan.

Sebab sejak enam bulan lalu, peluang Muhaimin mendampingi Jokowi nyaris sudah tertutup. Sikap keras Muhaimin terhadap kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait moratorium daerah penangkapan ikan dan larangan penggunaan cantrang, alat tangkap ikan hasil yang dimodifikasi trawl yang sudah dilarang sejak lama, membuat gerah Jokowi dan juga Megawati Soekarnoputri. 

Selain membuat Jokowi "tidak populer" di kalangan nelayan, suara PDIP juga ikut tergerus. Padahal selama ini nelayan menjadi basis PDIP- selain kaum marjinal perkotaan.

Benar, Muhaimin ditopang kekuatan Nahdlatul Ulama (NU) dan saat ini Jokowi membutuhkan dukungan suara kyai di tengah terpaan isu anti Islam yang diproduksi lawan-lawannya. Tetapi Muhaimin lupa, dirinya bukan tokoh sentral NU sebagaimana (alm) KH Abdurrahman Wahid. 

Banyak tokoh-tokoh NU yang sudah berada di kubu Jokowi seperti anggota Dewan Pengarah BPIP Mahfud MD, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj serta Ketua MUI Ma'ruf Amin yang tetap akan di situ sekali pun PKB cabut dari koalisi istana. Jangan sepelekan kehadiran Ketua Umum PPP Romahurmuziy dan Ketua Majelis Syariah DPP PPP Maimun Zubair yang juga memiliki cukup banyak pengikut di NU.

Cawapres Jokowi juga bukan tipe seperti Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Di samping untuk "menjaga perasaan" Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri karena berpotensi menjadi lawan politik Puan Maharani di Pilpres 2024, Airlangga  terlalu "lembut". Airlangga menjadi orang nomor satu di Golkar bukan karena kharisma atau ketokohan, tetapi lebih karena tidak ada rival dan ditopang seniornya, Luhut Binsar Pandjaitan.

Cawapres Jokowi sudah sejak lama mengerucut pada Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, dan belakangan, Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang (TGB). Jika situasi “aman” Jokowi akan tetap memilih Moeldoko. Namun jika penguatan isu agama di kubu lawan kian tak terkendali, Jokowi dipastikan memilih TGB.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun