Jika saja sejak lama siapa cawapres Jokowi pengganti Jusuf Kalla bisa "dibaca", situasi hari ini tentu berbeda. Sangat mungkin SBY dan juga Prabowo lebih intens membangun kekuatan- meski belum dalam posisi koalisi, untuk menyiapkan "perang" di pilpres.
Kedua, mengunci dan melumpuhkan partai pendukung agar tidak memiliki waktu membangun komunikasi dengan kubu lawan, atau bahkan hengkang jika keinginannya, terutama untuk posisi cawapres, tidak terakomodir.Â
Ambil contoh PKB. Dengan digantungnya posisi cawapres hingga menit terakhir, setidaknya sampai dua hari sebelum penutupan pendaftaran bagi pasangan capres dan cawapres di KPU, PKB hanya bisa menunggu apakah Jokowi akan menggandeng sang ketum Muhaimin Iskandar ataukah tidak. Jika ternyata tidak, PKB sudah kehabisan waktu untuk membangun koalisi baru.
Tetapi jika mau sedikit menelisik ke belakang, siapa cawapres yang diinginkan Jokowi sebenarnya sudah bisa "diketahui". Jokowi membutuhkan pendamping yang bisa membentengi dirinya, bisa menjadi jangkar ke kubu Islam dan tidak ambisius. Poin terakhir menjadi utama karena Jokowi tipe single fighter dan --meminjam istilah Setya Novanto, agak koppig.
Jika  Muhaimin benar-benar punya keinginan posisi cawapres karena merasa memiliki pendukung besar, mestinya sudah tahu tokoh yang diinginkan Jokowi.Â
Minimal Muhaimin bisa mengukur kekuatan tokoh-tokoh di sekitar Jokowi yang berpotensi menjadi pesaingnya dan memahami keinginan Jokowi di tengah realitas politik saat ini. Dengan demikian Muhaimin tidak perlu menunggu dalam kebimbangan, "mengerahkan" santri dan kyai untuk menekan.
Sebab sejak enam bulan lalu, peluang Muhaimin mendampingi Jokowi nyaris sudah tertutup. Sikap keras Muhaimin terhadap kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait moratorium daerah penangkapan ikan dan larangan penggunaan cantrang, alat tangkap ikan hasil yang dimodifikasi trawl yang sudah dilarang sejak lama, membuat gerah Jokowi dan juga Megawati Soekarnoputri.Â
Selain membuat Jokowi "tidak populer" di kalangan nelayan, suara PDIP juga ikut tergerus. Padahal selama ini nelayan menjadi basis PDIP- selain kaum marjinal perkotaan.
Benar, Muhaimin ditopang kekuatan Nahdlatul Ulama (NU) dan saat ini Jokowi membutuhkan dukungan suara kyai di tengah terpaan isu anti Islam yang diproduksi lawan-lawannya. Tetapi Muhaimin lupa, dirinya bukan tokoh sentral NU sebagaimana (alm) KH Abdurrahman Wahid.Â
Banyak tokoh-tokoh NU yang sudah berada di kubu Jokowi seperti anggota Dewan Pengarah BPIP Mahfud MD, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj serta Ketua MUI Ma'ruf Amin yang tetap akan di situ sekali pun PKB cabut dari koalisi istana. Jangan sepelekan kehadiran Ketua Umum PPP Romahurmuziy dan Ketua Majelis Syariah DPP PPP Maimun Zubair yang juga memiliki cukup banyak pengikut di NU.
Cawapres Jokowi juga bukan tipe seperti Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Di samping untuk "menjaga perasaan" Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri karena berpotensi menjadi lawan politik Puan Maharani di Pilpres 2024, Airlangga  terlalu "lembut". Airlangga menjadi orang nomor satu di Golkar bukan karena kharisma atau ketokohan, tetapi lebih karena tidak ada rival dan ditopang seniornya, Luhut Binsar Pandjaitan.