Tarik-menarik siapa yang akan mendampingi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto masih sangat alot. Posisi PKS mulai melemah sementara Partai Demokrat kian dominan. PAN yang mencoba malakukan proxy, hanya bisa bertahan.
Kekalahan PKS sebenarnya sudah terbaca sejak kehadiran PAN dan Demokrat. Meski memegang kontrak politik dengan Prabowo, namun PKS gagal meyakinkan kekuatan yang dimiliki. Hal itu terlihat dari kegamangan Prabowo sejak setahun terakhir. Bahkan Prabowo sempat terpincut tawaran menjadi cawapres petahana Presiden Jokowi.
Upaya PKS merangkul kubu ulama berhasil memberikan tekanan kepada Prabowo ketika Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama yang dikendalikan Habib Rizieq Shihab menggelar ijtima dan merekomendasikan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri sebagai cawapres Prabowo. Munculnya nama Ustadz Abdul Somad (UAS) tidak terlalu merisaukan karena diyakini belum akan terjun ke dunia politik.Â
Dan memang, seperti sudah diprediksi, UAS menolak dicalonkan karena ingin tetap di jalan dakwah yang diibaratkan menjadi setetes embun di (padang) Sahara, sehingga peluang kader PKS kian lapang. Terlebih Prabowo sama sekali tidak menunjukkan ketertarikannya pada jagoan PAN, Zulkifli Hasan. Mungkin Prabowo belajar dari kekakalahan Pilpres 2014 di mana dirinya berpasangan dengan ketum PAN (saat itu) Hatta Rajasa. Â
Tetapi PKS lupa masih ada Amien Rais. Setelah gagal menjadi king maker bagi kubu oposisi, Amien melihat ada celah agar PAN tetap diperhitungkan melalui UAS. Amien segera mengkampanyekan UAS dan diikuti oleh seluruh kekuatan PAN, termasuk putrinya, Hanum Salsabiela Rais. Tidak butuh waktu lama, UAS pun menjadi "ikon" baru PAN dalam perundingan segi empat dengan tiga cawapres sama kuat di mana Salim Segaf didukung PKS dan GNPF Ulama, UAS oleh PAN dan GNPF ulama, serta AHY yang disodorkan Demokrat.
Perlahan kisi-kisi siapa cawapres Prabowo sudah mulai terajut. Salah satunya adalah tokoh yang mampu menjalin komunikasi dengan generasi milenial karena mayoritas pemilih berada di bawah usia 40. Kriteria ini pernah dikatakan Prabowo sebelum bertemu SBY di Cikeas dan diulang dalam beberapa kesempatan. Dengan satu clue ini, Salim Segaf otomatis gugur dari bursa pencalonan. Salim Segaf tipe ulama zaman dulu yang lebih biasa berdakwah dan berkomunikasi satu arah.
Baik AHY maupun UAS sama-sama berusia 40-an, gaul dan diterima oleh generasi milenial serta memiliki pengikut yang cukup besar, meski secara jumlah lebih banyak UAS. Dari sisi keterkenalan, juga cukup imbang. Meski jika didasarkan hasil survei yang pernah dirilis sejumlah lembaga, AHY unggul, tetapi belum sahih karena UAS belum pernah diikutkan secara khusus dalam sebuah survei dengan metode pilihan nama yang sudah ditentukan. UAS hanya muncul ketika responden diberi kebebasan memilih calon yang dikehendaki.
Lalu apa perbedaannya. UAS merupakan tokoh yang merepresentasikan (sebagian) suara umat Muslim, utamanya para ulama yang berada di kubu oposisi. Sedang AHY lebih mewakili kelompok pemilih nasional demokrat dan pengagum militer, tepatnya yang meyakini Indonesia bisa jaya jika dipimpin oleh militer.
UAS representasi kekuatan kubu luar Jawa, setidaknya mewakili mereka yang berpikiran kepemimpinan nasional harus perwujudan dua kutub yakni Jawa dan non Jawa. AHY tentu sebaliknya. Pasangan Prabowo -- AHY akan mudah diterpa isu ini, terlebih jika Jokowi mengambil cawapres luar Jawa semisal Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang (TGB). Â
Namun AHY memiliki dua kekuatan lain yang tidak dimiliki UAS yakni modal finansial dan mesin partai. Dua hal ini tentu sangat dibutuhkan Prabowo untuk menutup titik lemah Gerindra dan PKS. Daerah Indonesia bagian timur akan menjadi lumbung suara Jokowi jika Prabowo hanya mengandalkan kader-kader PKS dan Gerindra. Nama SBY dan Demokrat masih cukup harum di beberapa wilayah di Papua dan Sulawesi, ditambah sebagian Kalimantan.
Lalu siapa yang akan dipilih Prabowo? Tentu saja AHY. Ada dua alasannya. Pertama UAS tetap kekeuh menolak menjadi cawapres. Prabowo bisa beralasan, dirinya sudah mengikuti hasil ijtima ulama dengan memilih satu dari dua nama yang disodorkan. Bahwa UAS menolak, tentu bukan salah Prabowo. Bagaimana dengan Amien Rais? Tidak ada masalah karena sepertinya UAS memang hanya dijadikan ikon dengan tujuan agar PAN "tidak dilupakan".
Kedua, Prabowo membutuhkan SBY yang pernah dua kali memenangkan gelaran pilpres melawan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri baik saat berpasangan dengan Hasyim Muzadi maupun Prabowo. Tentu SBY memiliki "senjata rahasia" yang akan berguna bagi Prabowo.
Bagaimana dengan PKS? Tidak ada waktu bagi PKS untuk membangun koalisi baru. Jika pun bisa mengajak PAN dan PKB -- dengan catatan Jokowi tidak mengambil sang ketum Muhaimin Iskandar, waktunya sangat sempit untuk mencapai titik sepakat terkait pasangan yang akan diusung. Pilihannya tinggal Muhaimin dipasangkan dengan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, tetapi hal itu tidak menguntungkan PKS. Jalan terbaik bagi PKS adalah mendapat "sisi lain" dari Prabowo dan SBY untuk menggerakkan mesin partai agar bisa masuk 7 besar di Pemilu 2019 yang dilaksanakan bersamaan dengan pilpres.
Lalu siapa lawan cawapres ideal bagi Jokowi? Bagaimana peta kekuatan TGB, Kepala Kantor Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, anggota Dewan Pengarah BPIP Mahfud MD hingga Ketua MUI Ma'ruf Amin dan tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin? Â Tunggu ulasan berikutnya.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H