Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jothakan Bukan Puncak Konflik dalam Kultur Jawa

6 Agustus 2018   07:14 Diperbarui: 6 Agustus 2018   07:33 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi jothakan murni dunia (dan bagian permainan) anak-anak. Itu sebabnya saling diam antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono tidak tepat  disebut jothakan.  

Jika mau spesifik lagi, jothakan adalah senjata paling ampuh bagi anak-anak yang lemah fisik. Anak-anak (di) Jawa yang secara fisik lemah, termasuk perempuan, akan menggunakan jothakan sebagai cara untuk mengalahkan lawan. Meski anak laki-laki dengan fisik kuat juga mengenal jothakan, seperti dalam kasus embek-embekan, namun durasinya sangat pendek karena jika tidak segera ada perdamaian, keduanya akan melanjutkan dengan berantem atau perkelahian yang sesungguhnya.

Dari jelaslah jika jothakan bukan puncak konflik dalam kultur atau tradisi Jawa!

Mestinmya Hasto tidak perlu mencari alas pembenar yang justru akan semakin melebarkan salah-paham. Sebab Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi pun mengakui kalimat Jokowi cukup sensitif sehingga awak media sempat diajak keluar. Hasto cukup mengakui Jokowi selip lidah (slip of the tongue) karena saking semangatnya.

Setidak ada tiga hal yang perlu dipahami mengapa kita menolak seruan Presiden Jokowi sekalipun dimaksudkan untuk memberikan semangat relawannya.

Pertama, kontestasi elektoral seperti pilkada, pilpres dan pemilu harusnya menjadi pesta demokrasi yang menggembirakan tanpa dihinggapi rasa takut. Perbedaan pendapat, provokasi dan intimidasi harus diselesaikan dengan cara-cara yang elegan, demokratis dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Tidak dengan kekerasan fisik. Jika pun ada pihak yang menantang kekerasan, mestinya tidak diladeni.  

Kedua, saat ini tengah ada penguatan isu agama dan juga kesukuan. Mestinya semua pihak menahan diri agar tensinya tidak terus naik dan berubah menjadi ledakan sosial. Semua pihak, terutama elit politik harus memiliki kesadaran untuk mencegah jangan sampai ujaran kebencian dan provokasi menjadi jalan untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan.

Ketiga, seruan agar siap berkelahi atau berantem bisa memancing pihak lawan juga bersiap-siap. Dalam kondisi tegang dan sama-sama siap, maka gesekan atau bahkan sekedar isu, bisa menjadi pematik tawuran hingga kerusuhan dalam skala yang lebih luas.

Ingat, kita hendak melaksanakan kontestasi demokrasi elektoral yang beradab, bukan tawuran yang mengandalkan kekuatan fisik. Jika seruan itu merupakan balasan terhadap pihak-pihak yang selama ini juga melakukan hal yang sama, lalu siapa yang akan menjadi panutan bagi anak-anak bangsa? Siapa yang menjadi pemimpin bagi jutaan rakyat karena semuanya berlaku layaknya preman?

Tidak ada pembenaran untuk kekerasan (fisik) sekali pun dimaksudkan untuk membela diri.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun