Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jothakan Bukan Puncak Konflik dalam Kultur Jawa

6 Agustus 2018   07:14 Diperbarui: 6 Agustus 2018   07:33 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan Presiden Jokowi yang juga calon petahana dalam kontestasi Pilpres 2019 di depan relawannya di Sentul International Convention Center, Bogor, terus menuai kontoversi. 

Pasalnya Jokowi meminta relawannya berani berantem atau berkelahi jika diajak atau ditantang. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyebut Jokowi tengah berbicara dalam kultur di mana berantem hal yang biasa, bahkan bukan puncak konflik.

Menurut Hasto, ucapan Jokowi "tapi kalau diajak berantem juga (harus) berani" sebagai hal yang biasa dalam rangka memberi semangat. "Yang penting tidak sampai ribut," ujarnya.

Hasto kemudian menjelaskan, Jokowi tengah berbicara dalam kultur Jawa. Dalam tradisi Jawa, berantem bukan puncak tertinggi. Jika keributan didasari bicara (ucapan), maka puncak konflik adalah jothakan.

Benarkah? Sebelum kita mengartikan jothakan, ada baiknya mengenal dulu tradisi permainan beraroma permusuhan dalam masyarakat Jawa. Salah satunya embek-embekan yakni perkelahian bohong-bohongan antara dua anak, umumnya laki-laki. Disebut demikian karena sebelum salah satu pihak mengembik (embek) layaknya kambing, maka permainan belum berhenti. Permainan ini ada di hampir semua daerah di Jawa, hanya mungkin namanya yang berbeda.

Pengertian bohong-bohongan di sini bukan pada perkelahiannya. Dua anak yang telah sepakat embek-embekan akan menjatuhkan lalu bergulat, saling piting, bahkan hingga mencekik dengan tujuan mematikan (mengunci) gerak lawan. Namun tidak ada niat dari keduanya untuk melukai lawan. 

Itu mengapa kedua pelaku, tetap tertawa meski mungkin kaki atau tangannya berdarah saat jatuh akibat bantingan lawan. Penonton, yang umumnya teman-teman sendiri akan menyoraki sambil memastikan kedua temannya bertarung secara sportif.

Jika kemudian salah satu berbuat curang, semisal menggunakan alat dengan tujuan mengalah lawan, atau memiting dengan sangat keras sehingga menyebabkan rasa sakit, permusuhan akan dilanjutkan dengan  jothakan.

Jothakan tidak selamanya didahului dengan perkelahian bohong-bohongan. Jonthakan bisa terjadi hanya karena masalah sepele. Misalnya dua anak perempuan bersaudara rebutan mainan. Karena tidak ada yang mau mengalah, keduanya lantas mengakhirinya dengan jothakan.

Inikah yang dimaksud Hasto jika dalam kultur Jawa "berantem" bukan puncak konflik? Jika iya, maka Hasto jelas keliru. Mari kita lihat pengertian jothakan. Memang tidak ada penjelasan resminya selain kata jothak yang diartikan sebagai seteru sehingga jothakan dipahami sebagai berseteru. 

Padahal jothakan adalah berseteru dalam diam atau saling mendiamkan satu sama lain untuk jangka waktu tertentu. Bisa hanya beberapa jam, bisa juga hingga berhari-hari. Untuk mengakhiri jothakan juga ada tata caranya yakni saling menautkan kelingking.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun