Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menelisik Manuver JK di Menit Terakhir, untuk Jegal Moeldoko?

22 Juli 2018   09:49 Diperbarui: 22 Juli 2018   09:55 1637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) membuat manuver mengejutkan di menit-menit terakhir sebelum dibukanya pendaftaran bagi bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden. Jika berhasil, konstelasi politik, terutama di kubu Istana, bisa berubah dratis.

Seperti diketahui, saat ini Partai Perindo sedang menggugat atau uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 169 huruf (n) UU No 7/2017 tentang Pemilu yang selengkapnya berbunyi "Belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama".

Oleh sebagian kalangan memang dianggap multitafsir. Perindo menganggap kehadiran pasal tersebut menghalangi keinginannya mengajukan JK sebagai cawapres Joko Widodo di Pilpres 2019.

Awalnya JK terlihat tidak terlalu menanggapi gugatan Perindo. Demikian juga ketika PDIP "merayu" untuk kembali berduet dengan Jokowi. Menurut  Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, pengalaman JK dan keberhasilan duet dengan Jokowi selama 4 tahun terakhir menjadi pertimbangan utama PDIP. Hal senada disampikan Ketua DPP PDIP non aktif Puan Maharani.

Terhadap wacana itu JK sempat menolak. "Saya ingin istirahat," ujar JK.  

Tetapi belakangan, JK seperti berubah pikiran. Secara mendadak JK mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan syarat cawapres di MK. Menurut juru bicaranya, Husein Abdullah, sejak awal JK konsisten ingin istirahat dan tidak ingin melanggar aturan. Tapi kalau untuk kepentingan bangsa dan aturan memungkinkan, JK akan mengesampingkan kepentingan pribadinya.

Bagaimana perubahan peta politik yang ditimbulkan jika MK mengabulkan gugatan Partai Perindo sebelum 10 Agustus 2018, batas akhir pendafataran bakal calon pasangan presiden dan calon wakil presiden seperti diminta JK?

Pertama, akan menjadi tsunami politik bagi nama-nama cawapres yang selama beberapa bulan terakhir menghiasi berbagai media. Sebab JK sudah memastikan tidak akan maju sebagai kandidat calon presiden menantang Jokowi, meski ada partai yang berseda mengusungnya seperti Demokrat. Alasannya, kebijakan pemerintah dalam 4 tahun terakhir merupakan keputusan bersama dirinya dengan Presiden Jokowi. Dengan kata lain, jika menantang Jokowi, JK tidak mungkin mengkritisi kebijakan pemerintah yang menjadi sorotan publik karena hal itu sama saja dengan mengkritik kebijakannya sendiri.

Dengan demikian JK memang hanya ingin menjadi cawapres. Hal itu tentu menjadi "ancaman" serius bagi Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, Gubernur Nusa Tenggara Barat M. Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB), Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto hingga Komandan Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Bahkan wacana PDIP menduetkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai pendamping Jokowi juga bisa langsung lenyap.

Bagi PDIP, mengusung duet Jokowi-JK lebih aman dari semua sisi, terutama jika dikaitkan dengan Pilpres 2024 di mana kemungkinan JK tidak akan nyapres karena faktor usia. Berbeda halnya jika Jokowi mengambil cawapres AHY atau Muhaimin. Bagi PDIP, hal itu sama saja dengan membesarkan "anak macan".

Kedua, kemungkinan Jokowi -- JK menghadapi kotak kosang sangat besar. Sulit menemukan pasangan yang dapat mengalahkan duet ini karena memang mewakili banyak kepentingan dan suara, meski bukan tanpa kelemahan. Bahkan duet Prabowo -- Gatot Nurmantyo atau Anies Baswedan, tidak cukup kuat menghadapi pasangan kombinasi nasionalis -- NU ini.

Ketiga, perebutan kursi menteri menjadi sangat liar. Jika JK kembali menjadi cawapres Jokowi, partai pendukung di luar Golkar dipastikan bakal meminta tambahan jatah kursi kabinet. Sementara Golkar tentu tidak ingin JK dihitung sebagai bagian dari "jatah" partainya karena hal itu bukan kehendaknya. Beda halnya jika Jokowi mengambil Airlangga yang memang sesuai keinginan Golkar.

Hal lain yang tidak kalah menggelitik adalah kemungkinan langkah JK sebenarnya untuk menjegal Moeldoko. Artinya, JK sudah tahu jika dirinya "istirahat" maka Jokowi akan memilih Moeldoko. Tentu hal itu merugikan Golkar secara keseluruhan karena Moeldoko kader Hanura -- meski sudah berencana mundur agar dirinya tidak "dihitung" sebagai wakil partai. Apa kata kader-kader Golkar di daerah jika partai pemenang kedua di Pemilu 2014 justru mendukung duet PDIP-Hanura.

Tidak heran jika langkah JK mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan Perindo menuai cibiran dari Hanura. Ketua DPP Partai Hanura Inas Nasrullah mengaku terkejut dan meminta JK untuk menolak jika dicalonkan. Sementara Muhaimin Iskandar menyebut meski orang NU, namun  JK tidak bisa membawa gerbong Nahdliyin sebesar "mobilnya".

Kita belum tahu pasti, apakah langkah JK didasari ambisi untuk kembali menjadi wapres, sekedar untuk menjegal Moeldoko atau sebatas menunaikan hak konstitusionalnya dengan tujuan agar ke depan tidak ada lagi multitafsir terhadap pasal tersebut. Kita berharap MK bisa secepatnya memproses dan memutus uji materi tersebut agar segera ada kepastian hukum, juga politik.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun