Ketiga, perebutan kursi menteri menjadi sangat liar. Jika JK kembali menjadi cawapres Jokowi, partai pendukung di luar Golkar dipastikan bakal meminta tambahan jatah kursi kabinet. Sementara Golkar tentu tidak ingin JK dihitung sebagai bagian dari "jatah" partainya karena hal itu bukan kehendaknya. Beda halnya jika Jokowi mengambil Airlangga yang memang sesuai keinginan Golkar.
Hal lain yang tidak kalah menggelitik adalah kemungkinan langkah JK sebenarnya untuk menjegal Moeldoko. Artinya, JK sudah tahu jika dirinya "istirahat" maka Jokowi akan memilih Moeldoko. Tentu hal itu merugikan Golkar secara keseluruhan karena Moeldoko kader Hanura -- meski sudah berencana mundur agar dirinya tidak "dihitung" sebagai wakil partai. Apa kata kader-kader Golkar di daerah jika partai pemenang kedua di Pemilu 2014 justru mendukung duet PDIP-Hanura.
Tidak heran jika langkah JK mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan Perindo menuai cibiran dari Hanura. Ketua DPP Partai Hanura Inas Nasrullah mengaku terkejut dan meminta JK untuk menolak jika dicalonkan. Sementara Muhaimin Iskandar menyebut meski orang NU, namun  JK tidak bisa membawa gerbong Nahdliyin sebesar "mobilnya".
Kita belum tahu pasti, apakah langkah JK didasari ambisi untuk kembali menjadi wapres, sekedar untuk menjegal Moeldoko atau sebatas menunaikan hak konstitusionalnya dengan tujuan agar ke depan tidak ada lagi multitafsir terhadap pasal tersebut. Kita berharap MK bisa secepatnya memproses dan memutus uji materi tersebut agar segera ada kepastian hukum, juga politik.
Salam @yb