Bayang-bayang krisis moneter mulai samar terlihat. Tekanan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) semakin hebat meski Bank Indonesia sudah menggunakan dua instrumen yang dianggap ampuh yakni menggelontorkan cadangan devisa dan menaikkan suku bunga acuan dari 4,25% menjadi 4,5%.
Dengan nilai tukar Rp 14.100 per dollar AS dan total utang pemerintah mencapai 4.180 triliun per April 2018, tidak bisa anggap enteng.
Kehilangan cadangan devisa US$ 2 miliar lebih di bulan Maret dari sebelumnya US$ 128,05 miliar menjadi tinggal US$ 126 di bulan April adalah gambaran betapa rumitnya kondisi ekonomi saat ini.
BI dalam siaran persnya mengakui penurunan cadangan devisa di antaranya untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, di samping membayar utang luar negeri pemerintah. Namun upaya tersebut sia-sia karena nilai tukar rupiah terus merosot dan melewati angka psikologis Rp 14.000 per dollar AS.
Menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate, awalnya dianggap bisa mengurangi tekanan terhadap rupiah. Tetapi nyatanya rupiah terus tertekan. Padahal menaikkan suku bunga bank bukan tanpa resiko karena pelaku bisnis juga tidak mau mengambil pinjaman bank dengan bunga selangit. Orang juga cenderung memarkir uangnya di bank daripada diputar di pasar valuta asing (valas) yang bergejolak.
Kondisi ini diperparah dengan tingginya utang luar negeri berdenominasi dollar, yuan, yen dan mata uang asing lainnya, yang mencapai Rp 5.000 triliun di mana US% 184,7 miliar atau sekitar Rp 2.585 triliun milik pemerintah sementara sisanya utang swasta, termasuk BUMN.
Dengan merosotnya nilai tukar rupiah, otomatis cicilan pokok utang dan bunga menjadi berlipat-lipat jika dikurs dengan rupiah. Oleh karenanya, kondisi ini sudah lampu merah bagi perusahaan swasta terutama BUMN yang memperoleh pendapatan dengan mata uang rupiah namun harus membayar utang dengan valas.
Pertanyaan menariknya lagi adalah berapa rerata utang yang dipikul tiap warga negara Indonesia dengan posisi utang Rp 4.180 triliun atau hampir 2 kali APBN 2018? Dengan asumsi pertambahan penduduk sebesar 4 juta jiwa pertahun maka saat ini penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 266 juta jiwa. Dengan demikian tiap penduduk, termasuk yang baru lahir, sudah menanggung utang negara sekitar Rp15,4 juta.
Benar, itu hanya analogi karena tidak mungkin juga negara-negara pemberi utang mengirim debt collector untuk menagih tiap warga negara Indonesia. Tetapi utang yang besar mendorong pemerintah menjadi agresif menarik pajak dari penduduk dan menghilangkan berbagai subsidi yang dianggap membebani keuangan negara.
Penduduk dijadikan "sapi perahan" tanpa diberi asupan yang memadai. Lonjakan harga kebutuhan pokok yang tidak pernah turun sejak setahun terakhir, adalah salah satu contoh nyata bagaimana tidak berharganya nilai rupiah. Di satu sisi pendapat, terutama para pegawai dan buruh nyaris tetap.
Kita mendukung langkah-langkah pemerintah. Kita rela membeli harga BBM sesuai dengan harga minyak dunia, bahkan sama dengan penduduk di negara yang tidak memiliki ladang minyak. Kita tidak mengeluh harus membeli LPG untuk memasak dengan harga sama seperti warga negara di belahan dunia lain yang tidak punya ladang gas.
Kita rela membayar listrik dengan harga yang nyaris sama dengan harga listrik di negara-negara yang tidak dikaruniai sumber daya alam. Kita sebagai warga bangsa Indonesia, yang mewarisi darah pejuang, siap dan rela berkorban demi negara.
Tetapi sampai kapan? Kita belum melihat bukti konkret penambahan panjang jalan tol bermanfaat menurunkan harga komoditi pangan karena lancarnya arus barang dari produsen ke konsumen.
Kita belum merasakan banyaknya jembatan megah yang dibangun berkorelasi dengan penurunan gini ratio --kesenjangan sosial ekonomi, yang dulu menjadi jargon kampanye. Meski diklaim turun dari 0,414 (2014) menjadi 0,393 (2017), tetapi itu angka yang masih sangat tinggi.
Dengan kondisi saat ini, pemerintah terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani, tidak perlu lagi mengumbar cerita sukses. Menyuruh masyarakat membedakan antara utang luar negeri milik pemerintah dan swasta adalah hal aneh karena kedua utang tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap kondisi ekonomi dalam negeri. terlebih swasta yang dimaksud di sini adalah juga BUMN.
Bukan rahasia lagi, banyak utang luar negeri BUMN yang dijamin oleh pemerintah, termasuk yang digunakan untuk membangun kereta cepat Jakarta-Bandung. Artinya, manakala BUMN tersebut kolaps, pemerintah yang harus mengembalikan utang plus bunganya.
Sudah tidak ada waktu lagi untuk bermain dengan kata-kata. Masyarakat membutuhkan tindakan konkret, minimal di saat sulit seperti sekarang ini.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H