Kita rela membayar listrik dengan harga yang nyaris sama dengan harga listrik di negara-negara yang tidak dikaruniai sumber daya alam. Kita sebagai warga bangsa Indonesia, yang mewarisi darah pejuang, siap dan rela berkorban demi negara.
Tetapi sampai kapan? Kita belum melihat bukti konkret penambahan panjang jalan tol bermanfaat menurunkan harga komoditi pangan karena lancarnya arus barang dari produsen ke konsumen.
Kita belum merasakan banyaknya jembatan megah yang dibangun berkorelasi dengan penurunan gini ratio --kesenjangan sosial ekonomi, yang dulu menjadi jargon kampanye. Meski diklaim turun dari 0,414 (2014) menjadi 0,393 (2017), tetapi itu angka yang masih sangat tinggi.
Dengan kondisi saat ini, pemerintah terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani, tidak perlu lagi mengumbar cerita sukses. Menyuruh masyarakat membedakan antara utang luar negeri milik pemerintah dan swasta adalah hal aneh karena kedua utang tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap kondisi ekonomi dalam negeri. terlebih swasta yang dimaksud di sini adalah juga BUMN.
Bukan rahasia lagi, banyak utang luar negeri BUMN yang dijamin oleh pemerintah, termasuk yang digunakan untuk membangun kereta cepat Jakarta-Bandung. Artinya, manakala BUMN tersebut kolaps, pemerintah yang harus mengembalikan utang plus bunganya.
Sudah tidak ada waktu lagi untuk bermain dengan kata-kata. Masyarakat membutuhkan tindakan konkret, minimal di saat sulit seperti sekarang ini.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H