Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beda Pribumi Malaysia dan Indonesia di Balik Kemenangan Mahatir

10 Mei 2018   16:52 Diperbarui: 12 Mei 2018   23:48 3236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahatir Muhammad dan Wan Azizah. Foto: bbc.com

Mengapa hal itu tidak bisa terjadi di Indonesia? Banyak pihak yang merasa gerah dengan istilah pribumi. Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memperkuatnya melalui UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Istilah pribumi semakin menjadi momok di era Preisden Joko Widodo seiring kian familiarnya istilah asing dan aseng. Sri Bintang Pamungkas menjadi sosok yang paling sering menggunakan istilah pribumi untuk menyerang kebijakan Jokowi terutama terkait maraknya investasi Chna yang diiringi dengan membanjirnya tenaga kerja unskill asal Negeri Panda.

Namun sebelumnya, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan beberapa politisi lain juga gemar memakai istilah pribumi kala menjadi oposisi, dan berbalik menolak istilah tersebut setelah berada di dalam lingkar kekuasaan.

Puncak kontroversial kata pribumi terjadi ketika Anies Baswedan menyeru di depan pendukungnya usai dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Inisiator Gerakan Pancasila Jack Boyd Lapian melaporkan Anies dengan dugaan tindak pidana diskriminatif ras dan etnis sebagaimana diatur dalam UU 40/2008.

Salah satu penyebab mengapa istilah pribumi menjadi "haram" adalah sikap curiga dari warga yang dikategorikan nonpribumi. Rasa ini merupakan warisan dari sikap rezim Orde Baru yang di awal kekuasaannya membatasi ruang gerak etnis nonpribumi, khususnya Tionghoa.

Kedua, pengertian pribumi juga masih debatable karena ketiadaan kesepakatan etnis mana yang merupakan penduduk asli Indonesia. Padahal jika belajar dari Malaysia, nenek moyang etnis Melayu juga berasal dari luar, termasuk Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Namun "semua" sepakat jika etnis Melayu sebagai bumiputera alias penduduk asli karena mereka yang lebih dulu tinggal dan beranak-pinak di negeri jiran tersebut.

Mengapa kita tidak berani mengakui etnis Jawa, Melayu, Papua dll, sebagai penduduk pribumi Indonesia tanpa disertai rasa curiga bahwa warga negara keturunan akan menjadi warga negara kelas dua? Mengapa pemikiran semacam ini lantas dianggap sebagai (bagian) sikap rasialis?

Ketiga, politisasi secara serampangan oleh sebagian elit. Memperjuangkan pribumi diartikan sebagai memusuhi nonpribumi. Selama stigma ini masih hidup dan dihidupkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan untuk kelompoknya, maka dikotomi pribumi-nonpribumi selalu diwarnai ketegangan dan sikap curiga. Terlebih ketika kesenjangan ekonomi antar kelompok entis sangat njomplang.

Mengapa menjadi penting mengakui adanya penduduk pribumi dan nonpribumi? Salah satu persoalan besar  yang dihadapi bangsa ini adalah kesenjangan ekonomi.

Untuk memangkas kesenjangan ini harus ada keberpihakan pemerintah sebagaimana dilakukan pemerintah Malaysia melalui kebijakan Dasar Ekonomi Baru (DEB) dengan target menyeimbangkan perekonomian warga Melayu dengan lainnya, terutama etnis Tionghoa. Sebab kala program tersebut diluncurkan tahun 1970-an, puak Melayu hanya menguasai 3% kekayaan negara. Mirip kondisi Indonesia saat ini.

Dibutuhkan survei dan riset mendalam untuk sampai pada kesimpulan jika program kredit pemerintah yang bertujuan untuk mengangkat perekonomian masyarakat kecil dan menengah tidak tepat sasaran karena kembali dinikmati oleh kelompok yang memiliki "jalur khusus" untuk mengakses perbankkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun