Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tudingan "Kartini Pemuas Seks Belanda" Menjijikkan

24 April 2018   18:46 Diperbarui: 24 April 2018   22:23 3420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gugatan terhadap kepahlawanan Raden Ajeng Kartini bukan hal baru. Sejak Orde Baru, suara-suara yang mempertanyakan layak tidaknya putri Bupati Jepara itu mendapat gelar pahlawan sudah dibahas di berbagai ruang diskusi. Dasar argumen yang digunakan cukup wajar dan  menawarkan perspektif baru. Namun tidak demikian halnya dengan tudingan Kartini sebagai pemuas seks Belanda. Sangat keji dan menjijikkan.

Adalah akun dengan nama Ahmada Al Fatih yang memberi komentar di sebuah media sosial dengan kalimat sangat provokatif. Akun yang belakangan disebut PKS membajak foto kadernya di Aceh Timur bernama Sayed Mansur, menghina RA Kartini sebagai perempuan pemuas seks Belanda. Postingan itu menuai hujatan nitizen.

Saat ini PKS, menurut Wakil Sekjen Abdul Hakim, tengah mengumpulkan data dan berencana melaporkannya ke pihak berwajib karena merugikan PKS.

Sumber: kumparan.com
Sumber: kumparan.com
Sementara itu, sejarawan Asep Kambali tegas menyebut tudingan Ahmada fitnah dan mencederai kepahlawanan Kartini. Menurut Asep, Kartini tipe perempuan penurut yang teguh memegang adat-istiadat. Itu sebabnya Kartini tidak melawan orang tuanya yang melarang bersekolah ke Belanda maupun Batavia (Jakarta). Kartini juga tidak (berani) menolak  ketika dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri.

Terkait hubungannya dengan pembesar Belanda, Asep mengakui hal itu karena ayah Kartini pro kepada pemerintahan Hindia Belanda. Kartini pun dengan leluasa berkirim surat kepada teman-temannya di Eropa.

Surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Door Duisternis tot Licht atas inisiatif Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda. Balai Pustaka Jacques Henrij Abendanon. Pada tahun 1922, Balai Pustaka ikut menerbitkan dalam Bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah PIkiran. 

Dari sini pula asal-muasal kritik penokohan Kartini sebenarnya bagian dari propaganda politik etis Belanda. Melalui sosok Kartini, Belanda berseru kepada dunia, negaranya tidak hanya menguras harta kekayaan dan memeras keringat pribumi Hindia Belanda, namun juga melakukan balas budi dengan memberikan pendidikan, kesetaraan dan kebebasan pikir kepada inlander.

Tidak mengherankan jika tulisan-tulisan Kartini, termasuk kiprah bahkan berita kematiannya, menempati kolom utama media-media Belanda seperti De Hollandsche Lelie.

Tidak hanya istimewa di mata Belanda, Kartini juga menempati posisi istimewa di zaman kemerdekaan. Di awal kemerdekaan para sejarawan Indonesia melakukan koreksi terhadap semua hal yang berbau Belanda dalam suatu proyek yang dinamai nasionalisasi historiografi. Tokoh-tokoh yang oleh Belanda dianggap perusuh, seperti Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nya Dien, Christina Martha Tiahahu, Pangeran Antasari, Hasanudin, dll, diluruskan, bahkan diputarbalik. Sebab dari kacamata Indonesia, Pangeran Diponegoro dkk, adalah seorang pahlawan, bukan pemberontak.

Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Kartini. Entah karena tidak melakukan pembelaan fisik maupun dukungan verbal terhadap Belanda, Kartini tetap menempati posisi penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan kesetaraan gender, utamanya pendidikan bagi kaum perempuan.

Atas jasanya itu, tahun 1964, Presiden Soekarno menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional, dan tanggal lahirnya, 21 April, ditetapkan sebagai Hari Kartini- yang dalam perjalanannya dimaknai sebagai hari kesetaraan perempaun dengan laki-laki dan pembebasan perempuan dari belenggu kebodohan.

Gugatan atas penasbihan Kartini sebagai Pahlawan Nasional terus bergulir hingga hari ini. Soekarno dan juga Soeharto dituding melakukan politik Jawa sentris melalui simbol Kartini. Sebagai alas pembenar argumen itu, adalah perayaan Hari Kartini di mana anak-anak perempuan diwajibkan menjadi "Jawa" dengan memakai kemben, ditutup kebaya dan jarit, serta rambut bersanggul. Meski belakangan pakaian adat juga keagamaan mulai tampak dalam perayaan Hari Kartini, imej Kartini sebagai alat politik Belanda dan pemerintah Indoensia, tidak serta-merta hilang.

Tidak sedikit pula yang mengatakan Kartini tidak lebih hebat dari Rohana Kudus, perempuan asal ranah Minang, Sumatera Barat. Hidup di zaman yang sama, Rohana Kudus berjuang melalui tulisan-tulisannya yang diterbitkan di surat kabar Sunting Melayu, yang digawangi perempuan. Bukan hanya jurnalis, Rohana juga mendirikan sekolah untuk mendidik kaumnya. Perjuangan Rohana tidak mencuat karena bertentangan dengan politik etis Belanda. Jika "suara hati" Kartini selalu ditulis panjang-lebar dan menempati halaman utama ragam surat kabar Belanda, tidak demikian halnya dengan kiprah Rohana Kudus.

Bagaimana pula dengan Keumalahayati alias Laksamana Malahayati yang memimpin langsung pertempuran laut nan heroik dan membunuh Cornelis de Houtman di atas geladak kapal dalam perkelahian satu lawan satu? Meski nilai kepahlawanan tidaklah sebangun dengan keberanian fisik karena terkadang keberanian pikiran tidak kalah hebat dari keberanian fisik, tetapi dalam konteks Kartini, hal ini perlu disampaikan sebagai pembanding. Jika Kartini ditetapkan sebagai pahlawan karena keberanian pikirannya, bukan keberanian fisik, adakah yang kurang dari Rohana Kudus?

Gugatan terhadap kepahlawanan Kartini, bukan untuk mengecilkan jasa-jasanya. Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk mendarmabaktikan diri kepada bangsanya. Tetapi sungguh tidak elok manakala kita untuk menaikkan jasa seseorang dengan cara "menutupi" jasa orang lain.

Jika sejarah ditulis oleh pemenang, mengapa Rohana Kudus "hanya" diberi gelar Perintis Pers Indonesia dan Bintang Jasa Utama? Apakah Rohana Kudus bukan bagian dari pemenang? Apakah benar Kartini menjadi pahlawan karena memang sesuai tipe perempuan yang 'diinginkan laki-laki' lantaran nurut dan nrimo? Jika demikian, maka sesungguhnya Kartini adalah pahlawan bagi kaum laki-laki, bukan bagi kaum perempuan.

Perdebatan-perdebatan seputar Kartini tidak akan ada habisnya dan tidak perlu juga dihentikan karena membuka cakrawala baru dalam konteks pendekatan terhadap sejarah. Kartini justru akan semakin besar jika kelak dari perdebatan-perdebatan itu muncul fakta baru yang lebih menguatkan ketokohannya. Ingat, bukan mau Kartini dijadikan "model" oleh Belanda dan pahlawan oleh Indonesia. Tidak salah juga mereka yang mengatakan kondisi Kartini lebih menyedihkan justru setelah kematiannya. Dari sini pula kita "marah" ketika ada yang punya pikiran begitu jorok dan kotor sehingga tega menuding Kartini sebagai budak seks Belanda.

Salam  @yb

Sebagian isi tulisan diambil dari naskah sebelumnya : Menggugat Kepahlawanan Kartini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun