Gugatan atas penasbihan Kartini sebagai Pahlawan Nasional terus bergulir hingga hari ini. Soekarno dan juga Soeharto dituding melakukan politik Jawa sentris melalui simbol Kartini. Sebagai alas pembenar argumen itu, adalah perayaan Hari Kartini di mana anak-anak perempuan diwajibkan menjadi "Jawa" dengan memakai kemben, ditutup kebaya dan jarit, serta rambut bersanggul. Meski belakangan pakaian adat juga keagamaan mulai tampak dalam perayaan Hari Kartini, imej Kartini sebagai alat politik Belanda dan pemerintah Indoensia, tidak serta-merta hilang.
Tidak sedikit pula yang mengatakan Kartini tidak lebih hebat dari Rohana Kudus, perempuan asal ranah Minang, Sumatera Barat. Hidup di zaman yang sama, Rohana Kudus berjuang melalui tulisan-tulisannya yang diterbitkan di surat kabar Sunting Melayu, yang digawangi perempuan. Bukan hanya jurnalis, Rohana juga mendirikan sekolah untuk mendidik kaumnya. Perjuangan Rohana tidak mencuat karena bertentangan dengan politik etis Belanda. Jika "suara hati" Kartini selalu ditulis panjang-lebar dan menempati halaman utama ragam surat kabar Belanda, tidak demikian halnya dengan kiprah Rohana Kudus.
Bagaimana pula dengan Keumalahayati alias Laksamana Malahayati yang memimpin langsung pertempuran laut nan heroik dan membunuh Cornelis de Houtman di atas geladak kapal dalam perkelahian satu lawan satu? Meski nilai kepahlawanan tidaklah sebangun dengan keberanian fisik karena terkadang keberanian pikiran tidak kalah hebat dari keberanian fisik, tetapi dalam konteks Kartini, hal ini perlu disampaikan sebagai pembanding. Jika Kartini ditetapkan sebagai pahlawan karena keberanian pikirannya, bukan keberanian fisik, adakah yang kurang dari Rohana Kudus?
Gugatan terhadap kepahlawanan Kartini, bukan untuk mengecilkan jasa-jasanya. Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk mendarmabaktikan diri kepada bangsanya. Tetapi sungguh tidak elok manakala kita untuk menaikkan jasa seseorang dengan cara "menutupi" jasa orang lain.
Jika sejarah ditulis oleh pemenang, mengapa Rohana Kudus "hanya" diberi gelar Perintis Pers Indonesia dan Bintang Jasa Utama? Apakah Rohana Kudus bukan bagian dari pemenang? Apakah benar Kartini menjadi pahlawan karena memang sesuai tipe perempuan yang 'diinginkan laki-laki' lantaran nurut dan nrimo? Jika demikian, maka sesungguhnya Kartini adalah pahlawan bagi kaum laki-laki, bukan bagi kaum perempuan.
Perdebatan-perdebatan seputar Kartini tidak akan ada habisnya dan tidak perlu juga dihentikan karena membuka cakrawala baru dalam konteks pendekatan terhadap sejarah. Kartini justru akan semakin besar jika kelak dari perdebatan-perdebatan itu muncul fakta baru yang lebih menguatkan ketokohannya. Ingat, bukan mau Kartini dijadikan "model" oleh Belanda dan pahlawan oleh Indonesia. Tidak salah juga mereka yang mengatakan kondisi Kartini lebih menyedihkan justru setelah kematiannya. Dari sini pula kita "marah" ketika ada yang punya pikiran begitu jorok dan kotor sehingga tega menuding Kartini sebagai budak seks Belanda.
Salam  @yb
Sebagian isi tulisan diambil dari naskah sebelumnya : Menggugat Kepahlawanan Kartini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H