Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Puisi Sukmawati Wujud Kekonyolan Kubu Nasionalis

7 April 2018   14:11 Diperbarui: 8 April 2018   10:35 3401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sukmawati Soekarnoputri. Foto: KOMPAS.com

Puisi berjudul "Ibu Indonesia" karya Sukmawati Soekarnoputri menambah panjang daftar kekonyolan kubu nasionalis dalam mengemas isu sensitif. Kondisi ini semakin memprihatinkan karena di saat bersamaan kubu lawan justru berhasil menciptakan ghirah keagamaan dengan memanfaatkan blunder kaum nasionalis. 

Perlu segera merevitalisasi "dogma" nasionalis agar tidak menjadi sesalan usai Pemilu dan Pilpres 2019.

Dalam sejarah kontestasi elektoral Indonesia sejak kemerdekaan, partai-partai berhaluan agama ---setidaknya berbasis keagamaan, belum pernah menang. Pada pemilu Orde Lama tahun 1955, Partai Nasional Indonesia keluar sebagai pemenang dengan selisih sekitar setengah juta suara dibanding Masyumi yang berada di posisi kedua meski perolehan kursi keduanya sama yakni 57 kursi di DPR.

Untuk kursi Konstituante, PNI meraih 119 sedang Masyumi hanya 112. Secara umum, blok nasionalis memiliki 274 kursi (53,3 persen) dan kubu agama (Islam) memiliki 230 kursi (44,8 persen), sisanya masuk dalam blok sosialis. 

Namun kubu nasionalis yang menghendaki kembali ke UUD 1945 gagal mencapai 2/3 persen suara dan menghadapi kebuntuan politik sehingga kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Setahun kemudian Bung Karno juga membubarkan DPR diikuti dengan pembentukan DPR-GR dan MPR Sementara.

Di masa Orde Baru, kubu agama semakin tidak berkutik ketika Presiden Soeharto memaksa seluruh partai melakukan fusi (penggabungan) sesuai "alirannya". Kubu nasionalis bergabung di bawah bendera PDI sedangkan kubu agama berada di payung Partai Persatuan Pembangunan. 

Namun demikian, corak Golongan Karya- organisasi sosial politik yang menjadi kendaraan Pak Harto, lebih condong ke haluan nasionalis. Benar Pak Harto melakukan pembonsaian terhadap PDI, tapi hal itu lebih dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak keturunan Soekarno di pentas politik, bukan paham nasionalis dalam konteks luas. Konsep berdikari, yang menjadi nafas kaum nasionalis dan selalu digelorakan Bung Karno, diimplementasikan Pak Harto dalam banyak kebijakan ekonomi. 

Meski tidak terang-terangan menolak liberalisasi ekonomi dan tetap membuka pasar bebas, namun Pak Harto paling kekeuh menolak swastanisasi perusahaan negara yang memegang kendali hajat hidup rakyat Indonesia. 

Baru di akhir masa kekuasaannya, Soeharto --menurut Tanri Abeng, mulai berpikir untuk menjual BUMN di tengah desakan untuk membayar utang US$ 2 milyar kepada IMF.

Hingga akhir kekuasaannya, Pak Harto juga tetap "melarang" penggunaan syariat keagamaan seperti jilbab bagi Muslimah, di instansi-instansi pemerintah, termasuk militer. Kewajiban memperlihatkan telinga di pasphoto kartu identitas diri, seperti KTP tetap berlaku. Soeharto melihat pemakaian jilbab bukan lagi dalam konteks syariat Islam, namun ditarik ke wilayah politik dan dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaannya.

Tidak heran jika Pak Harto pun getol memberangus gerakan politik Islam. Jika Bung Karno membubarkan Masyumi dan memenjarakan tokoh-tokohnya tanpa proses peradilan pada tahun 1960 yang menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon atas hasutan PKI, maka jejak Pak Harto bisa dirunut dari peristiwa Tanjung Priok (1984) hingga penumpasan gerakan Warsidi di Talangsari, Lampung (1989). Pak Harto juga tetap tidak mau merehabilitasi pentolan Masyumi yang dipenjara di masa Soekarno, meski merangkul pakar ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo yang saat itu berada di luar negeri untuk menghindari kejaran rezim Orde Lama karena keterlibatannya dalam PRRI/Permesta.

Setelah reformasi, PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang berhaluan nasionalis memenangi Pemilu 1999. Kendati demikian, yang menjadi Presiden justru Abdurrahman Wahid dari kubu agama (PKB/NU) atas manuver Ketua Umum PAN (saat itu) Amien Rais, yang juga tokoh Muhammadiyah. 

Namun karena Gus Dur "sulit dikendalikan", Amien Rais dan kawan-kawan mengoreksi keputusannya dengan menjungkalkan Gus Dur dan (dipaksa konsitusi) menggantinya dengan Megawati yang saat itu menjabat Wakil Presiden. Andai saja konstitusi tidak mengharuskan demikian, belum tentu kubu agama merestui Megawati menjadi Presiden.

Kemenangan Partai Golkar (2004) dan Partai Demokrat (2009) sejenak menurunkan tensi persaingan kubu nasionalis dan agama. Meski sekuler, namun kedua partai juga dekat dengan kubu Islam. Sebagai contoh, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang sukses menjadi Presiden selama dua periode (2004-2014), mendapat sokongan dari PKS, PAN, PKB dan PPP. SBY juga "memiliki" lembaga dakwah bernama Majelis Dzikir Nurussalam serta sangat dekat dengan Majelis Rasulullah pimpinan Habib Munzir bin Fuad Almusawa.

Semua berubah saat PDIP memenangkan Pemilu 2014 ditambah kemenangan kadernya, Joko Widodo di ajang Pilpres 2014. Isu nasionalis versus agama kembali mengemuka. Partai-partai dan anak keturunan tokoh-tokoh yang memiliki "kedekatan perjuangan" dengan Masyumi di masa Bung Karno, merapatkan barisan. Isu PKI dibangkitkan untuk mengingatkan pendukunganya atas "luka" pembubaran Masyumi di masa lampau.

Sesuatu yang lumrah dalam konteks politik. Sayangnya kubu nasionalis terbenam dalam euforia kemenangan sehingga lupa menjaga narasi. Saat ini kubu peniup isu (politik) agama sudah mendulang panen, sementara kubu nasionalis masih asyik dengan retorika jadul. Generasi milenial nasionalis yang awam terhadap kebesaran di masa lampau tidak mendapat asupan pemahaman kekinian sehingga kedodoran di ruang-ruang perdebatan. Ketika tokoh-tokoh nasionalis tersadar, situasi sungguh sudah berubah.

Mirisnya, beberapa di antaranya justru terperosok pada isu yang tidak dikuasainya yakni isu agama. Kaum nasionalis gagal menciptakan gelanggang perdebatan di wilayah yang dikuasainya. Isu yang ditembakkan Sukmawati melalui puisi "Ibu Indonesia" bukan hanya tidak dikuasai dengan baik sehingga tidak tepat sasaran, namun justru membangkitkan ghirah keagamaan kelompok-kelompok religius yang tadinya tidak anti dengan isu nasilonalis. 

"Kerusakan" yang ditimbulkan oleh puisi Sukmawati bagi kubu nasionalis, melebihi kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama karena Sukmawati memiliki kaitan langsung dengan tokoh yang selama berpuluh tahun diposisikan sebagai "musuh bersama" oleh pengikut dan simpatisan Masyumi.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertama karena ketiadaan tokoh nasionalis kharismatik setelah pudarnya "pesona" Megawati akibat beberapa keputusan politiknya yang tidak berpihak pada kaum marhaen dan wong cilik. 

Isu privantisasi BUMN, kenaikan harga kebutuhan pokok sebagai dampak pencabutan subsisdi BBM dan sarana produksi pertanian, legalisasi pekerja asing di bidang-bidang yang selama ini menjadi lahan mencari makan kaum kecil seperti proyek konstruksi, dengan piawai dimainkan lawan politiknya. Kubu nasionalis dipaksa bertahan dan sibuk mencounter isu-isu tersebut sehingga lupa menyerang. Begitu melancarkan serang sporadis sekedar untuk keluar dari tekanan, malah membuat blunder karena isu yang ditembakkan tidak dikuasainya!

Kedua, sebenarnya banyak nasionalis muda yang memiliki pemikiran cerdas dan pandai "meniti buih". Sayangnya mereka tidak mendapat tempat. Sementara punggawa nasionalis garis keras cenderung diisi pini sepuh yang tidak memahami konteks kekinian karena masih dinina-bobokan kebesaran masa lalu.

Ketiga, Presiden Jokowi tidak diberi "mandat" yang utuh sehingga keberadaan partai penopang dan tokoh di sekelilingnya cenderung hanya menjadi beban. Pernyataan Megawati jika Jokowi hanya petugas partai, terus diulang-ulang sehingga jelas mendegradasikan wibawanya karena seolah di bawah perintah pemilik partai. 

Meski dalam konteks kepartaian di Indonesia, hal itu terjadi juga di partai-partai lain di mana posisi ketua umum adalah segalanya, namun tidak elok seorang presiden terus "diolok-olok" dengan panggilan petugas partai.

Jika saja Jokowi diposisikan secara utuh sebagai representasi pembawa suara kaum nasionalis, situasinya tentu akan berbeda. Benar, saat ini dukungan untuk Jokowi masih kuat. Tetapi masih ada waktu satu tahun dan jika kubu nasionalis gagal mengemas isu, bahkan kembali membuat gol bunuh diri, hanya keajaiban yang bisa memenangkan Jokowi di kontestasi Pilpres 2019. @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun