Setelah reformasi, PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang berhaluan nasionalis memenangi Pemilu 1999. Kendati demikian, yang menjadi Presiden justru Abdurrahman Wahid dari kubu agama (PKB/NU) atas manuver Ketua Umum PAN (saat itu) Amien Rais, yang juga tokoh Muhammadiyah.Â
Namun karena Gus Dur "sulit dikendalikan", Amien Rais dan kawan-kawan mengoreksi keputusannya dengan menjungkalkan Gus Dur dan (dipaksa konsitusi) menggantinya dengan Megawati yang saat itu menjabat Wakil Presiden. Andai saja konstitusi tidak mengharuskan demikian, belum tentu kubu agama merestui Megawati menjadi Presiden.
Kemenangan Partai Golkar (2004) dan Partai Demokrat (2009) sejenak menurunkan tensi persaingan kubu nasionalis dan agama. Meski sekuler, namun kedua partai juga dekat dengan kubu Islam. Sebagai contoh, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang sukses menjadi Presiden selama dua periode (2004-2014), mendapat sokongan dari PKS, PAN, PKB dan PPP. SBY juga "memiliki" lembaga dakwah bernama Majelis Dzikir Nurussalam serta sangat dekat dengan Majelis Rasulullah pimpinan Habib Munzir bin Fuad Almusawa.
Semua berubah saat PDIP memenangkan Pemilu 2014 ditambah kemenangan kadernya, Joko Widodo di ajang Pilpres 2014. Isu nasionalis versus agama kembali mengemuka. Partai-partai dan anak keturunan tokoh-tokoh yang memiliki "kedekatan perjuangan" dengan Masyumi di masa Bung Karno, merapatkan barisan. Isu PKI dibangkitkan untuk mengingatkan pendukunganya atas "luka" pembubaran Masyumi di masa lampau.
Sesuatu yang lumrah dalam konteks politik. Sayangnya kubu nasionalis terbenam dalam euforia kemenangan sehingga lupa menjaga narasi. Saat ini kubu peniup isu (politik) agama sudah mendulang panen, sementara kubu nasionalis masih asyik dengan retorika jadul. Generasi milenial nasionalis yang awam terhadap kebesaran di masa lampau tidak mendapat asupan pemahaman kekinian sehingga kedodoran di ruang-ruang perdebatan. Ketika tokoh-tokoh nasionalis tersadar, situasi sungguh sudah berubah.
Mirisnya, beberapa di antaranya justru terperosok pada isu yang tidak dikuasainya yakni isu agama. Kaum nasionalis gagal menciptakan gelanggang perdebatan di wilayah yang dikuasainya. Isu yang ditembakkan Sukmawati melalui puisi "Ibu Indonesia" bukan hanya tidak dikuasai dengan baik sehingga tidak tepat sasaran, namun justru membangkitkan ghirah keagamaan kelompok-kelompok religius yang tadinya tidak anti dengan isu nasilonalis.Â
"Kerusakan" yang ditimbulkan oleh puisi Sukmawati bagi kubu nasionalis, melebihi kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama karena Sukmawati memiliki kaitan langsung dengan tokoh yang selama berpuluh tahun diposisikan sebagai "musuh bersama" oleh pengikut dan simpatisan Masyumi.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertama karena ketiadaan tokoh nasionalis kharismatik setelah pudarnya "pesona" Megawati akibat beberapa keputusan politiknya yang tidak berpihak pada kaum marhaen dan wong cilik.Â
Isu privantisasi BUMN, kenaikan harga kebutuhan pokok sebagai dampak pencabutan subsisdi BBM dan sarana produksi pertanian, legalisasi pekerja asing di bidang-bidang yang selama ini menjadi lahan mencari makan kaum kecil seperti proyek konstruksi, dengan piawai dimainkan lawan politiknya. Kubu nasionalis dipaksa bertahan dan sibuk mencounter isu-isu tersebut sehingga lupa menyerang. Begitu melancarkan serang sporadis sekedar untuk keluar dari tekanan, malah membuat blunder karena isu yang ditembakkan tidak dikuasainya!
Kedua, sebenarnya banyak nasionalis muda yang memiliki pemikiran cerdas dan pandai "meniti buih". Sayangnya mereka tidak mendapat tempat. Sementara punggawa nasionalis garis keras cenderung diisi pini sepuh yang tidak memahami konteks kekinian karena masih dinina-bobokan kebesaran masa lalu.
Ketiga, Presiden Jokowi tidak diberi "mandat" yang utuh sehingga keberadaan partai penopang dan tokoh di sekelilingnya cenderung hanya menjadi beban. Pernyataan Megawati jika Jokowi hanya petugas partai, terus diulang-ulang sehingga jelas mendegradasikan wibawanya karena seolah di bawah perintah pemilik partai.Â