Kekhawatiran terbesar yang disuarakan Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Al-Khaththath adalah jika sampai peninjauan kembali  yang diajukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dikabulkan Mahkamah Agung (MA) maka akan terbuka peluang untuk mengikuti kontestasi electoral sehingga bisa menduduki jabatan politik. Namun jika MA memutus berdasarkan batas waktu maksimal, dipastikan Ahok tidak bisa mencalonkan diri baik sebagai anggota DPR, DPD maupun calon Presiden atau Wakil Presiden.
Seperti diketahui Ahok yang sudah divonis bersalah dengan hukuman 2 tahun penjara dalam kasus penodaan agama terkait pidatonya di Kepulauan Seribu yang menyinggung surah Al Maidah 51 saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, menarik kembali memori banding yang sempat diajukan sehingga putusan PN Jakarta Utara langsung inkrah karena jaksa penuntut umum juga tidak mengajukan banding. Namun setelah 9 bulan menjalani hukuman di sel tahanan  Mako Brimbob Kelapa Dua, Ahok mengajukan peninjauan kembali (PK). Adalah putusan Buni Yani, yang divonis bersalah dan dihukum 18 bulan penjara yang dijadikan bukti baru (novum) untuk menilai adanya kekeliruan dalam putusan Ahok.
Jika melihat situasi saat itu, kemungkinan Ahok tidak banding maupun kasasi untuk menghindari hukuman yang lebih berat karena kuatnya tekanan massa. Sementara jika saat ini mengajukan PK, tidak ada resiko  hukumannya akan ditambah sesuai Pasal 266 Ayat (3) KUHAP yang berbunyi: Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula'.
Sementara pihak lain, termasuk para ulama seperti Al Khaththath, melihat upaya PK Ahok dimaksudkan untuk membuka peluang kembali ke pentas politik melalui Pemilu atau Pilpres. Sebab jika PK-nya dikabulkan dan direhabilitasi nama baiknya, tentu Ahok memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih dalam kontestasi electoral.
Pertanyaannya, mungkinkah PK Ahok diterima? Jika dikabulkan, kapan putusan itu diambil?
Benar bahwa sudah ada putusan MA di mana terpidana yang tidak mengajukan banding atau kasasi tidak bisa mengajukan PK. Tetapi yurisprudensi tersebut akan menimbulkan perdebatan karena sistem hukum kita menganut Eropa Kontinental, bukan Anglo Saxon ala Amerika Serikat sehingga adanya putusan pengadilan terdahulu tidak serta-merta dapat dijadikan dasar putusan pada kasus berikutnya. Majelis hakim tetap bisa memutus berdasarkan proses hukum dan fakta-fakta yang ada, tidak terikat pada yurisprudensi sebagaimana pernah diutarakan terdakwa kasus merintangi penyidikan di KPK, Fredrich Yunadi.
Jika dilihat dari sisi ini, maka kemungkinan PK Ahok tetap diproses oleh MA. Namun apakah akan dikabulkan atau tidak sangat tergantung seberapa kuat novum yang diajukan.
Mari kita andaikan PK Ahok diterima. Lalu kapan putusan itu akan diketok? Jika mengacu pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor  214/KMA/SK/XII/2014 tanggal 31 Desember 2014, proses PK maksimal diselesaikan dalam jangka waktu 250 hari terhitung mulai penerimaan berkas hingga pengiriman kembali berkas ke pengadilan negeri (PN).Â
Dengan demikian jika berkas perkara Ahok dikirim Senin, 5 Maret 2018, maka paling lambat akhir November 2018 perkara tersebut sudah diputus dan diterima oleh PN Jakarta Utara. Tentu ini hanya hitungan maksimal. Artinya, bisa saja dalam tempo 3 bulan perkara sudah diputus.
Jika PK diketuk hanya dalam tempo 3 bulan dan dikabulkan, maka Ahok memiliki peluang untuk menjadi calon anggota legislatif, dan juga calon Presiden, namun tidak untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) karena pendaftarannya sudah dimulai tanggal 26 Maret sampai 26 April 2018. Sedang pendaftaran bagi calon anggota legislatif yakni DPR dan DPRD, baru mulai dari tanggal 4 sampai dengan  17 Juli 2018. Sementara pendaftaran bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden dibuka tanggal 4 hingga 10 Agustus 2018.
Tetapi jika MA memutus berdasarkan tenggat waktu yakni 250 hari atau sekitar 8 bulan, meski PK-nya dikabulkan, Ahok tetap tidak bisa mencalonkan diri baik pada Pemilu maupun Pilpres.