Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Isu Kudeta di Balik Impor Senjata Polisi

7 Oktober 2017   11:10 Diperbarui: 7 Oktober 2017   11:34 19412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara kargo senjata SAGL pesanan Kepolisian melaluia PT Mustika Duta Mas tiba menggunakan pesawat Maskapai Ukraine Air Alliance dengan nomor penerbangan UKL 4024, Jumat 29 September 2017, pukul 23.30. Proses penurunan senjata dilakukan sekitar 2 jam. Senjata kemudian disimpan di gudang kargo bandara.

Setelah itu barulah Kepolisian, dalam hal ini Komandan Korps Brimob Irjen Pol Murad Ismail meminta rekomendasi pengeluaran senjata dari bandara kepada Kepala BAIS TNI Mayjen Hartono. Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto prosedurnya memang seperti itu. "Barang masuk dulu ke Indonesia kemudian untuk dikarantina dan dicek BAIS TNI. Lalu dikeluarkan rekomendasi TNI," ujar Wasisto. 

Dari sinilah dugaan adanya kontra intelijen muncul, minimal BAIS TNI melakukan penyelidikan sendiri sehingga tahu akan ada kiriman senjata dari luar negeri yang tentu saja belum dilaporkan pihak Kepolisian kepada BAIS TNI. Informasi yang didapat BAIS tersebut kemudian hanya disampaikan kepada Panglima TNI. Buktinya, Menko Polhukam tidak mengetahuinya sehingga ketika isu ini mencuat Wiranto membuat pernyataan keliru dengan menyebut senjata yang dimaksud Gatot adalah senjata pesanan BIN ke PT Pindad.

Mengapa Gatot begitu tersinggung atas impor senjata SAGL? Pertama karena SAGL merupakan senjata semi militer yang bisa menembus tank lapis baja ringan. Kedua, Jenderal Gatot merasa TNI tengah dicurigai sehingga ada upaya pihak tertentu melakukan penumpukan "senjata berat" sebagai langkah antisipasi. Ketiga, puncak kegeraman atas kondisi TNI secara umum TNI paska gerakan reformasi 1998.

Seperti kita ketahui bersama, sejak dipisah dari TNI, Kepolisian tampil sangat dominan. Jika awalnya hanya di wilayah publik, belakangan Kepolisian juga menjadi hero di medan "tempur" karena TNI harus kembali ke barak sesuai amanat gerakan reformasi. Sekedar contoh, dalam siaran langsung penggrebekan teroris yang diserta baku tembak dan letusan bom, tidak tampak adanya prajurit TNI yang diperbantukan (BKO). Kehadiran sejumlah tentara di lokasi penggrebekan tak ubahnya penonton. Ada kesan polisi sengaja menghilangkan peran TNI karena Brimob- pasukan elit kepolisian, bisa menanganinya.

Situasi ini berlanjut pada peristiwa-peristiwa kecil yang menohok para prajurit TNI namun mungkin tidak disadari Kepolisian. Saat melakukan pelanggaran di wilayah sipil, semisal melanggar rambu lalu-lintas, prajurit-prajurit TNI merasa diperlakukan bak warga sipil biasa. Memang benar itu wilayah kekuasaan, domainnya, Kepolisian dan yang berlaku adalah undang-undang sipil. Tidak boleh ada pengecualian perlakuan karena hukum berlaku sama kepada semua warga negara. Tetapi rasa hormat sebagai sesama alat negara, mestinya tetap ada sehingga tidak memancing sentimen korps.

Tidak hanya di level bintara dan tamtama, di tingkat elit pun, banyak perwira TNI yang mulai "gelisah" dengan peminggiran peran TNI. Selama ini sikap itu cenderung disimpan dan hanya dibicarakan di kalangan internal. Adalah Jenderal Gatot yang akhirnya berani mengemukakan "ketidaksukaannya" secara terbuka. Beberapa kali Gatot seperti sengaja memilih sikap berbeda dengan Kepolisian. Isu makar, penanganan demonstran dan lainnya pun di jadikan panggung. Terakhir, tanpa basa-basi Gatot langsung "menyerang" institusi Kepolisian melalui isu impor senjata api yang dituding ilegal.

Kini polemik seputar pembelian SAGL sudah selesai. Jalan tengah yang diambil di mana senjata dengan amunisi karet dan asap diserahkan kepada Kepolisian, tetapi amunition castior 40 mm, 40 x 46 mm round RLV-HEFJ yang diyakini bisa menghancurkan kendaraan lapis baja ringan, ditahan oleh TNI dan hanya bisa dikeluarkan atas seizin Panglima TNI.

Dari pemaparan ini jelaslah mengapa kasus impor senjata oleh Kepolisian sangat sensitif karena adanya kecurigaan, ketidakpercayaan, elit politik terhadap TNI. Permohonan Panglima Gatot kepada Presiden Jokowi agar tidak meragukan kesetiaan TNI yang disampikan di depan ribuan tentara saat peringatan HUT TNI, hendaknya bisa menjadi pegangan. Kita harus percaya pada integritas dan loyalitas TNI. Orang-orang di sekitar Presiden jangan memberikan masukan yang keliru, apalagi sampai berpikir untuk membuat pertahanan sendiri, yang terpisah dari komando TNI. Jangan pernah berpikir seperti itu karena harganya akan sangat mahal.

Salam @yb.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun