Impor senjata semi militer oleh Kepolisian RI yang dilontarkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tidak berdiri sendiri. Ada banyak isu dan kepentingan yang bertumpuk di dalamnya. Salah satu yang paling mengemuka dan membuat marah TNI ada isu kudeta. Impor senjata pun dimaknai sebagai upaya penguatan institusi lain untuk mengantisipasi gerakan TNI.
Blow up impor senjata semi militer jenis Stand-alone Grenade Launcher (SAGL) jauh dari kepentingan politik sebagaimana sudah ditulis sebelumnya. Isu ini sengaja dicuatkan sebagai bentuk ketersinggungan TNI terhadap isu kudeta. Mari kita lihat korelasi isu kudeta dan impor senjata semi militer oleh Kepolisian dalam perspektif yang lebih luas.
Sejak Presiden Joko Widodo dilantik, isu adanya polarisasi di tubuh TNI sudah mengemuka. Kemenangan Prabowo Subianto- rival Jokowi di Pilpres 2014, di kantong-kantong TNI, seperti Kompleks Kopassus Kartosuro Jawa Tengah, menjadi titik api yang terus membesar karena ketegangan-ketegangan politik yang mengikuti perjalanan kekuasaan Jokowi-JK. Setiap kali ada rongrongan ke Istana, semua orang lantas menoleh kepada TNI dengan penuh rasa curiga.
Jaminan Presiden Jokowi tidak akan mencopot Panglima TNI di tengah panasnya situasi menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 dan diikuti dengan kunjungan ke kesatuan-kesatuan elit TNI seperti Kopassus, Kostrad dan Marinir, ditafsirkan sebagai upaya Presiden meredam isu "gerakan" TNI. Meski Presiden mengimbanginya dengan kunjungan ke Markas Brimob- kesatuan elit Kepolisian, tetapi rumor itu tetap mengemuka dan terus menjadi perbincangan di kalangan elit politik. Beberapa tindakan Panglima TNI yang seolah berada di luar garis komando Presiden, termasuk saat memutuskan kerjasama militer dengan Australia, kian menguatkan rumor tersebut.
Tekanan lebih kencang ketika Jenderal Gatot sering melakukan kunjungan ke sejumlah ulama dan membuat kebijakan pemutaran kembali film G30S/PKI di barak-barak militer. Pada saat bersamaan sejumlah partai politik yang berada di kubu Prabowo, terutama PKS dan PAN, selain tentunya Gerindra, terus berupaya memanasi Jenderal Gatot dengan isu PIlpres 2019.Â
Partai-partai pendukung pemerintah, utamanya PDIP, beberapa kali terlihat "selip lidah" sebagai ekspresi kekuatiran terhadap langkah Panglima TNI. PDIP tidak ingin elektabilitas Gatot semakin moncer karena nantinya bisa menjadi batu sandungan manakala terjadi hal-hal di luar prediksi. Kasus "pembelotan" Susilo Bambang Yudhoyono di Pilpres 2004 masih membayang dan susah untuk dilupakan.
Jenderal Gatot bukan tidak tahu dirinya dijadikan sasaran tembak oleh kekuatan lain. Gatot mulai membentengi dirinya dengan lebih mengoptimalkan peran Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Ketika mendapat laporan adanya impor senjata semi militer oleh Kepolisian dalam jumlah besar, feeling militer Jenderal Gatot mulai curiga.Â
Keberadaan senjata semi militer di luar kendali TNI membuat Gatot tidak nyaman karena sangat mungkin ada skenario buruk di lingkar dekat Presiden. Itu sebabnya Gatot tidak melapor ke Presiden. Gatot memilih mengumpulkan jenderal-jenderal purnawirawan untuk meminta dukungan moril karena tengah menghadapi kekuatan besar.Â
Di depan Menko Polhukam Wiranto, mantan Gubernur Lemhannas Agum Gumelar, Prabowo Subianto, wapres ke-6 Try Sutrisno, Laksamana (Purn) TNI Purn Widodo AS, dan Laksamana (Purn) Agus Suhartono, mantan Kepala BIN Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, mantan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno dan jenderal-jenderal lainnya, Gatot membeber soal impor senjata semi militer tersebut. Gatot seolah tengah meminta izin andai nanti dirinya menggerakan pasukan.
Tindakan Gatot membuat geger dan memang itu tujuannya agar publik tahu situasi yang tengah dihadapi. Gatot menduga impor senjata semi militer ditutup-tutupi karena ada tujuan lain. Perlu dicatat, polisi memberitahukan adanya impor SAGL yang ketiga kepada BAIS TNI setelah senjata tiba di Bandara Soekarno- Hatta, alias setelah lontaran Gatot di depan purnawirawan jenderal TNI.
Untuk lebih jelasnya, mari kita urutkan kejadiannya. Panglima membeber adanya impor 5,000 senjata ilegal dan mengancam akan menyerbu Kepolisian jika memiliki senjata yang bisa menembak tank tempur, pada tanggal 22 September 2017 saat melakukan pertemuan dengan para jenderal purnawirawan TNI di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur.Â
Sementara kargo senjata SAGL pesanan Kepolisian melaluia PT Mustika Duta Mas tiba menggunakan pesawat Maskapai Ukraine Air Alliance dengan nomor penerbangan UKL 4024, Jumat 29 September 2017, pukul 23.30. Proses penurunan senjata dilakukan sekitar 2 jam. Senjata kemudian disimpan di gudang kargo bandara.
Setelah itu barulah Kepolisian, dalam hal ini Komandan Korps Brimob Irjen Pol Murad Ismail meminta rekomendasi pengeluaran senjata dari bandara kepada Kepala BAIS TNI Mayjen Hartono. Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto prosedurnya memang seperti itu. "Barang masuk dulu ke Indonesia kemudian untuk dikarantina dan dicek BAIS TNI. Lalu dikeluarkan rekomendasi TNI," ujar Wasisto.Â
Dari sinilah dugaan adanya kontra intelijen muncul, minimal BAIS TNI melakukan penyelidikan sendiri sehingga tahu akan ada kiriman senjata dari luar negeri yang tentu saja belum dilaporkan pihak Kepolisian kepada BAIS TNI. Informasi yang didapat BAIS tersebut kemudian hanya disampaikan kepada Panglima TNI. Buktinya, Menko Polhukam tidak mengetahuinya sehingga ketika isu ini mencuat Wiranto membuat pernyataan keliru dengan menyebut senjata yang dimaksud Gatot adalah senjata pesanan BIN ke PT Pindad.
Mengapa Gatot begitu tersinggung atas impor senjata SAGL? Pertama karena SAGL merupakan senjata semi militer yang bisa menembus tank lapis baja ringan. Kedua, Jenderal Gatot merasa TNI tengah dicurigai sehingga ada upaya pihak tertentu melakukan penumpukan "senjata berat" sebagai langkah antisipasi. Ketiga, puncak kegeraman atas kondisi TNI secara umum TNI paska gerakan reformasi 1998.
Seperti kita ketahui bersama, sejak dipisah dari TNI, Kepolisian tampil sangat dominan. Jika awalnya hanya di wilayah publik, belakangan Kepolisian juga menjadi hero di medan "tempur" karena TNI harus kembali ke barak sesuai amanat gerakan reformasi. Sekedar contoh, dalam siaran langsung penggrebekan teroris yang diserta baku tembak dan letusan bom, tidak tampak adanya prajurit TNI yang diperbantukan (BKO). Kehadiran sejumlah tentara di lokasi penggrebekan tak ubahnya penonton. Ada kesan polisi sengaja menghilangkan peran TNI karena Brimob- pasukan elit kepolisian, bisa menanganinya.
Situasi ini berlanjut pada peristiwa-peristiwa kecil yang menohok para prajurit TNI namun mungkin tidak disadari Kepolisian. Saat melakukan pelanggaran di wilayah sipil, semisal melanggar rambu lalu-lintas, prajurit-prajurit TNI merasa diperlakukan bak warga sipil biasa. Memang benar itu wilayah kekuasaan, domainnya, Kepolisian dan yang berlaku adalah undang-undang sipil. Tidak boleh ada pengecualian perlakuan karena hukum berlaku sama kepada semua warga negara. Tetapi rasa hormat sebagai sesama alat negara, mestinya tetap ada sehingga tidak memancing sentimen korps.
Tidak hanya di level bintara dan tamtama, di tingkat elit pun, banyak perwira TNI yang mulai "gelisah" dengan peminggiran peran TNI. Selama ini sikap itu cenderung disimpan dan hanya dibicarakan di kalangan internal. Adalah Jenderal Gatot yang akhirnya berani mengemukakan "ketidaksukaannya" secara terbuka. Beberapa kali Gatot seperti sengaja memilih sikap berbeda dengan Kepolisian. Isu makar, penanganan demonstran dan lainnya pun di jadikan panggung. Terakhir, tanpa basa-basi Gatot langsung "menyerang" institusi Kepolisian melalui isu impor senjata api yang dituding ilegal.
Kini polemik seputar pembelian SAGL sudah selesai. Jalan tengah yang diambil di mana senjata dengan amunisi karet dan asap diserahkan kepada Kepolisian, tetapi amunition castior 40 mm, 40 x 46 mm round RLV-HEFJ yang diyakini bisa menghancurkan kendaraan lapis baja ringan, ditahan oleh TNI dan hanya bisa dikeluarkan atas seizin Panglima TNI.
Dari pemaparan ini jelaslah mengapa kasus impor senjata oleh Kepolisian sangat sensitif karena adanya kecurigaan, ketidakpercayaan, elit politik terhadap TNI. Permohonan Panglima Gatot kepada Presiden Jokowi agar tidak meragukan kesetiaan TNI yang disampikan di depan ribuan tentara saat peringatan HUT TNI, hendaknya bisa menjadi pegangan. Kita harus percaya pada integritas dan loyalitas TNI. Orang-orang di sekitar Presiden jangan memberikan masukan yang keliru, apalagi sampai berpikir untuk membuat pertahanan sendiri, yang terpisah dari komando TNI. Jangan pernah berpikir seperti itu karena harganya akan sangat mahal.
Salam @yb.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H