Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik Hitam Putih ala Jokowi

20 Mei 2017   15:58 Diperbarui: 20 Mei 2017   19:04 6841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di mana Jokowi? Pertanyaan itu menyeruak di tengah riuahnya penolakan terhadap vonis 2 tahun yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara kepada Basuki Tjahaja Purnama. Dasyatnya, pertanyaan tersebut sama-sama dilontarkan oleh dua kubu yang berseberangan. Frasa “di mana” dalam kasus ini tentu bukan mengacu pada tempat, tetapi sikap (politik) Presiden Joko Widodo.

Pernyataan tegas Presiden Jokowi agar semua pihak agar menghormati putusan pengadilan dianggap kurang “keras” oleh kedua kubu. Kubu yang menganggap putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada Ahok merupakan bentuk kriminalisasi dan pengingkaran terhadap kebebasan berpendapat, “mencari” Jokowi untuk membebaskan Ahok dan menghapus pasal 156a KUHP.

Di pihak lain, kubu yang gerah dengan aksi bakar lilin di seantero dunia- dari London hingga Jepang, dari Batam hingga Jayapura, “membutuhkan” Jokowi untuk menghentikan “kegaduhan” pendukung Ahok, ancaman pemisahan diri sejumlah daerah dan menolak tegas intervensi asing terhadap kedaulatan hukum Indonesia.

Pengusir Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Menado dan Gubernur Kalimantan Barat Cornelis dari Nanggroe Aceh Darussalam, oleh masyarakat setempat, menjadi sinyal adanya penguatan sentimen keagamaan  yang terjadi di tengah masyarakat pasca gelaran Pilkada DKI Jakarta. Jangan menutupi fakta bahwa pengusiran Fahri Hamzah yang Muslim dari provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan Cornelis yang Nasrani dari bumi Serambi Mekkah, terkait persoalan agama. Alasan lainnya hanya sebuah apologi semu.

Dua peristiwa itu kemudian menjadi pintu "kemunculan" Presiden Jokowi seperti yang diharapkan kedua kubu. Tidak tanggung-tanggung, selepas mengumpulkan tokoh lintas agama, Jokowi langsung “memarahi” kedua kubu. Selain menyeru agar semua pihak menghentikan segala macam demo, Jokowi juga mengingatkan bahwa “kita semua bersaudara”. Sementara esoknya, saat bertemu pimpinan media massa, Jokowi menebar ancam akan menggebuk siapa pun yang coba-coba merongrong atau ingin mengganti Pancasila. Untuk menghindari kesan anti (ormas) Islam karena pernyataannya memiliki korelasi dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, Jokowi memberi jaminan negara juga akan menggebuk PKI manakala bangkit kembali.

Jika boleh dikritisi, maka kita menyesalkan mengapa Presiden Jokowi sama sekali tidak menyinggung isu-isu sparatisme yang dikaitkan dengan persoalan politik (baca: pilkada). Ancaman pemisahan beberapa daerah yang dilontarkan dalam aksi maupun tulisan di media-media sosial, mestinya harus dianggap setara dengan oknum atau organsisasi yang menistakan Pancasila. Bagi mereka mungkin dimaksudkan sebagai pressure. Mereka mendompleng suara kelompok sparatis untuk memaksakan aspirasi politiknya. Ataukah hal semacam itu sebuah kewajaran? Jika sekarang terkait kontestasi politik, mungkin besok akan kembali disuarakan untuk isu-isu ekonomi dan pembangunan.

Sikap tegas Presiden Jokowi menjadi menjadi sangat penting karena baru kali ini sebuah kontestasi skala daerah, menimbulkan gejolak di daerah lain. Kita harus angkat topi kepada Ahok dan para pendukungnya yang telah berhasil mengangkat kembali isu-isu yang selama ini sudah mengendap di bawah alam sadar anak-anak bangsa yaitu :

Pertama, toleransi dan kebhinnekaan. Seluruh anak bangsa memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin daerah mana pun. Tokoh-tokoh Islam jangan ragu-ragu untuk mengikuti pilkada di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Papua, juga Bali dan daerah lain. Kepada para politisi yang agama Kristen, Hindu, Budha, juga dipersilahkan untuk mencalonkan diri di Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Padang, Nusa Tenggara Barat, termasuk Madura. Semoga kita bisa mendapatkan pemimpin yang benar-benar dipilih berdasarkan track record-nya, bukan agamanya. Alangkah indah jika Buya Syafii Maarif bisa menjadi gubernur Sulut, atau Pendeta Jhoni Kilabong menjadi gubernur Aceh.

Kedua, isu sparatisme. Keinginan untuk memisahkan diri dari pangkuan NKRI itu ada dan nyata. Letupan-letupan emosional yang sempat terekam kemarin, menyadarkan kita semua betapa rapuhnya bangunan kebangsaan kita. Ikatan persaudaraan sebagai sesama warga bangsa, hanya dimaknai sebatas kepentingannya: lu bukan saudara jika tidak mau memenuhi keinginan gue.

Ketiga, kesenjangan sosial. Isu ini sempat mendominasi di era lalu. Kesenjangan sosial menjadi lahan untuk tumbuhnya sentimen negatif dan sikap saling curiga antar sesama anak bangsa. Mantan Presiden Soeharto sangat anti dengan isu ini karena titik poin terjadinya kesenjangan sosial adalah kebijakannya yang hanya berpihak kelompok lingkar Cendana. Kelompok Cendana bisa dengan mudah mendapatkan akses ekonomi sementara jutaan rakyatnya megap-megap mengais sisanya.    

Isu ini kembali mencuat saat pilkada DKI. Kaum miskin Jakarta vis a vis dengan kelompok kaya. Banyak artikel maupun komentar “orang-orang kaya” yang begitu merendahkan keberadaan warga miskin. Bagi kelompok ini, kemiskinan hanya tercipta karena kebodohan dan kemalasan. Mereka menafikan kehadiran dan tugas pemerintah. Mereka menafikan bahwa di masa 20-30 tahun lalu negara telah didistorsi sebatas Cendana. Mereka enggan melihat fakta di mana ribuan petani menjadi miskin karena kebijakan dan sistem distribusi hasil pertanian yang pincang, jutaan kaum buruh yang bekerja siang malam namun gajinya hanya cukup untuk beli rumah di bantaran sungai, di lorong-lorong kumuh, di pinggir rel kereta api, ribuan sarjana yang menggulung ijazahnya karena sikap diskriminasi pemilik perusahaan yang dulu dibesarkan dengan uang hasil menjarah negara.       

Penggusuran besar-besaran terhadap warga miskin karena dianggap mengotori wajah Jakarta- menjadi penyebab banjir dan sumber kriminalitas, menyadarkan kembali warga bangsa yang “bodoh” dan “malas” pada isu kesenjangan sosial. Terlebih saat mereka diperlakukan bak warga kelas dua, hanya menumpang di negeri yang indah ini. Mereka benar-benar tidak memiliki hak sekedar untuk meminta penundaan atas gusuran rumahnya agar ada kesempatan memindahkan sekolah anak-anaknya, menyelamatkan dagangannya. Wajah penguasa mendadak hadir begitu bengis. Tidak ada ruang untuk mengadu hal-hal yang substantif, selain selfie di bawah liputan media.

Kini Jokowi- seperti biasa, hadir dengan politik hitam putihnya. Presiden Jokowi tampil gagah memadamkan api gejolak yang sudah membakar sendi-sendi bangunan bernegara. Jika ada kelompok yang dirugikan atas keputusannya, maka pihak lain juga diberi “kerugian” yang sama.

Tetapi politik hitam putih, bermain di dua sisi, tidak bisa digunakan untuk menuntaskan akar persoalan bangsa. Kobaran api mungkin padam, tetapi bara di bawah terus membara. Suatu waktu akan kembali berkobar dan mungkin saat itu sudah tidak bisa lagi dipadamkan.

      

Salam @yb 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun