Masih ingat buku memoar politik berjudul “Selalu Ada Pilihan” karya DR Susilo Bambang Yudhoyono? Dalam buku yang diterbitkan saat masih memangku jabatan Presiden RI ke-6 tersebut, SBY banyak memberikan nasehat kepada para calon presiden penggantinya. Ironisnya, ternyata bagi panggung politik selama dua tahun terakhir tidak banyak memberi pilihan pada SBY.
Setelah lengser dari kursi kepresidenan, SBY tidak langsung mandeg pandhito layaknya negarawan. Hal ini bisa dipahami karena dirinya masih bermain di wilayah politik praksis dengan mengemban tugas sebagai ketua umum Partai Demokrat. Galibnya politisi, SBY pun memanfaatkan sejumlah momentum untuk menaikkan citra diri dan partainya. Kebijakan-kebijakan yang diambil Presiden Joko Widodo tidak luput dari kritik dibarengi dengan contoh keberhasilan dirinya. Jor-joran pembangunan yang dilakukan Jokowi sehingga ekonomi “panas” dan berdampak pada pemotongan anggaran yang tengah berjalan di kementerian, termasuk penundaan pencairan Dana Alokasi Umum ke daerah, serta cara mengatasi demonstrasi kelompok masyarakat, adalah contoh-contoh bagaimana SBY mencoba membagikan pengalamannya dengan harapan akan mendapat feedback positif bagi dirinya.
Sayangnya, SBY “bertemu” Jokowi yang- menurut Ketua DPR Setya Novanto, koppig. Tidak mau terbawa permainan SBY, Jokowi malah balik menyerang. Jokowi tidak segan-segan menjadikan proyek mangkrak pendahulunya tersebut- seperti wisma atlet Bukit Hambalang, sebagai background kunjungan kerja manakala SBY “berulah”.
Pilkada DKI Jakarta menjadi medan perang politik sesungguhnya bagi SBY-Jokowi. SBY berkepentingan mengorbitkan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sedangkan Jokowi tidak ingin Jakarta dipimpin oleh “orang luar istana”. Berbagai macam fragmen yang tercipta sepertinya dianggap sudah selesai pasca kekalahan AHY pada putaran pertama. Apalagi kemudian disusul dengan pertemuan keduanya di Istana Negara.
Anggapan itu ternyata keliru. Sejak kemarin publik dibuat tercengang ketika nama SBY dikaitkan dengan peristiwa mogoknya mobil kepresidenan yang tengah ditumpangi Jokowi dalam rangka kunjungan kerja ke Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Diketahui, SBY masih memakai mobil kepresidenan jenis Mercedes-Benz S600 Guard. Merasa ditagih, SBY mengatakan sudah lama berencana mengembalikan mobil tersebut, Namun karena rusak, hal belum jadi dilaksanakan.
“Tidak mungkin saya kembalikan mobil tersebut dalam keadaan rusak," kata SBY.
Pertanyaannya, di mana salah SBY terkait mobil yang dipinjamnya tersebut? Manuver apalagi yang tengah disiapkan SBY sehingga “istana” merasa perlu membuka soal mobil dinas kepresidenan yang dipinjamnya?
Terkait peminjaman mbil negara, SBY tidak bersalah. Sebagai mantan Presiden, SBY berhak mendapat pinjaman mobil dari negara bersama dengan sopirnya sebagai termaktub dalam Pasal 8 huruf (b) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Bahkan SBY “berhak” membeli mobil tersebut tanpa lelang (dum) sebagaimana diatur dalam PP Nomor 84 Tahun 2014 tentang Penjualan Barang Milik Negara/Daerah Berupa Kendaraan Perorangan Dinas. Mobil milik negara yang digunakan SBY sudah berusia di atas 10 tahun sehingga boleh di-dum.
Lalu di mana salah SBY? Mestinya SBY mengembalikan terlebih dahulu mobil dinasnya, sebelum kemudian negara memberikan pinjaman. Jika mobil tersebut dibawa pulang sejak dirinya lengser, klausul pinjaman tidak terpenuhi karena belum ada pihak yang meminjamkan.
Kedua, pasal hak pinjam kendaraan negara bagi mantan Presiden atau Wakil Presiden tidak menyebutkan jenis kendaraan. Otoritas untuk menentukan jenis mobil ada di Istana (Setneg). Tentu mobil yang dipinjamkan kepada mantan Presiden tidak harus sama, apalagi lebih mewah, dari mobil dinas Presiden.
Ketiga, mengingat mobil dinas kepresidenan tersebut sudah “dipinjam” SBY sejak 2014 atau hampir tiga tahun, patut dipertanyakan itikad baik SBY untuk mengembalikan atau minimal melaporkan keberadaan mobil tersebut. Dalam konferensi pers yang diwakilki juru bicara Partai Demokrat Imelda Sari, SBY tidak menjelaskan apakah dirinya sudah melaporkan soal kendaraan tersebut jauh-jauh hari sebelum kasus ini mencuat. Jika hanya niat namun tidak disampaikan kepada pihak yang memiliki otoritas, maka sulit bagi pihak luar untuk percaya SBY benar-benar ingin mengembalikan mobil dinas kepresidenan tersebut. Fakta bahwa SBY masih “menyimpan” mobil dinas kepresidenan justru menimbulkan sakwa-sangka tidak baik di tengah masyarakat karena terkesan SBY belum sepenuhnya siap meninggalkan jabatan yang pernah diembannya selama 10 tahun.
Lalu mengapa kemudian mengapa Istana “mempermalu” SBY dengan mem blow-upmobil kepresidenan yang masih dipakainya? Sulit untuk tidak mengaitkan dengan Pilkada Jakarta. Sikap netral Partai Demokrat (baca: SBY) dianggap tidak memenuhi ekspektasi Istana. Awalnya, Istana berharap pertemuannya dengan Jokowi akan melunakkan hati SBY sehingga Partai Demokrat dan partai pengusung AHY-Sylviana Murni merapat ke pasangan calon (paslon) Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat yang diusung PDIP.
Ternyata SBY tetap memilih netral tetapi kader-kadernya bersuara lantang mendukung paslon Anies Rasyid Baswedan - Sandiaga Salahuddin Uno sebagaimana pada Pilpres 2014 lalu. Demikian juga partai-partai pendukung AHY, terutama PAN yang sudah terang-terangan mendukung Anies-Sandiaga.
Apalagi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mulai panik dengan situasi jelang pelaksanaan Pilkada DKI putaran kedua. Bentuk kepanikan tersebut bisa dilihat dari keputusan DPP PDIP yang menginstruksikan seluruh kader potensial di daerah, terutama anggota ketua dan DPRD serta jajaran fungsionaris partai,agar merapat ke Jakarta untuk memenangkan Ahok-Djarot. Sebab secara logika kehadiran kader PDIP daerah di Jakarta tidak akan banyak membantu. Dari ribuan kader tersebut, bisa dipastikan hanya beberapa persen saja yang mengenal dan dikenal di Jakarta. Lebih lucu lagi jika kehadirannya hanya dimaksudkan untuk menjadi “pengawas” tempat pemungutan suara. Lain halnya jika kehadirannya dimaksudkan untuk memberikan bantuan logistik. Kehadiran ribuan kader berduit tersebut tentu sangat membantu mobilitas dan prasarana kampanye yang dibutuhkan tim pemenangan Ahok-Djarot.
Kondisi tersebut tidak perlu terjadi manakala Partai Demokrat dan tiga partai pengusung AHY-Sylviana lainnya mendukung Ahok-Djarot. Selain bisa memanfaatkan mesin partai, PDIP dan konco-konco-nya tidak perlu bingung soal “pengawasan” TPS dan dukungan di DPRD Jakarta andai Ahok-Djarot menang.
Sikap Istana yang kembali “mempermalu” SBY, tentu akan menimbulkan ketegangan baru antara Jokowi dengan SBY. Kita berharap ketegangan kedua tokoh itu tidak menimbulkan ekses negatif di tengah masyarakat. Semoga SBY segera menyadari “kesalahannya” dan mulai bersikap sebagai negarawan karena memang tidak selalu ada pilihan.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H