Lalu mengapa kemudian mengapa Istana “mempermalu” SBY dengan mem blow-upmobil kepresidenan yang masih dipakainya? Sulit untuk tidak mengaitkan dengan Pilkada Jakarta. Sikap netral Partai Demokrat (baca: SBY) dianggap tidak memenuhi ekspektasi Istana. Awalnya, Istana berharap pertemuannya dengan Jokowi akan melunakkan hati SBY sehingga Partai Demokrat dan partai pengusung AHY-Sylviana Murni merapat ke pasangan calon (paslon) Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat yang diusung PDIP.
Ternyata SBY tetap memilih netral tetapi kader-kadernya bersuara lantang mendukung paslon Anies Rasyid Baswedan - Sandiaga Salahuddin Uno sebagaimana pada Pilpres 2014 lalu. Demikian juga partai-partai pendukung AHY, terutama PAN yang sudah terang-terangan mendukung Anies-Sandiaga.
Apalagi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mulai panik dengan situasi jelang pelaksanaan Pilkada DKI putaran kedua. Bentuk kepanikan tersebut bisa dilihat dari keputusan DPP PDIP yang menginstruksikan seluruh kader potensial di daerah, terutama anggota ketua dan DPRD serta jajaran fungsionaris partai,agar merapat ke Jakarta untuk memenangkan Ahok-Djarot. Sebab secara logika kehadiran kader PDIP daerah di Jakarta tidak akan banyak membantu. Dari ribuan kader tersebut, bisa dipastikan hanya beberapa persen saja yang mengenal dan dikenal di Jakarta. Lebih lucu lagi jika kehadirannya hanya dimaksudkan untuk menjadi “pengawas” tempat pemungutan suara. Lain halnya jika kehadirannya dimaksudkan untuk memberikan bantuan logistik. Kehadiran ribuan kader berduit tersebut tentu sangat membantu mobilitas dan prasarana kampanye yang dibutuhkan tim pemenangan Ahok-Djarot.
Kondisi tersebut tidak perlu terjadi manakala Partai Demokrat dan tiga partai pengusung AHY-Sylviana lainnya mendukung Ahok-Djarot. Selain bisa memanfaatkan mesin partai, PDIP dan konco-konco-nya tidak perlu bingung soal “pengawasan” TPS dan dukungan di DPRD Jakarta andai Ahok-Djarot menang.
Sikap Istana yang kembali “mempermalu” SBY, tentu akan menimbulkan ketegangan baru antara Jokowi dengan SBY. Kita berharap ketegangan kedua tokoh itu tidak menimbulkan ekses negatif di tengah masyarakat. Semoga SBY segera menyadari “kesalahannya” dan mulai bersikap sebagai negarawan karena memang tidak selalu ada pilihan.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H