Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hadapi Freeport, Jokowi Diingatkan Kejatuhan Bung Karno

24 Februari 2017   14:04 Diperbarui: 25 Februari 2017   22:00 5782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para penggemar teori konspirasi,  meyakini kudeta merangkak yang menjungkalkan Bung Karno dari kursi Kepresidenan melibatkan Amerika Serikat. Salah satu alasan keterlibatan negeri Paman Sam adalah keberlangsungan usaha penambangan Freeport di Papua. Terbukti kemudian, setelah Presiden Soeharto berkuasa, tepatnya pada tahun 1967, perusahaan AS tersebut mendapat konsesi untuk mengeruk kekayaan Bumi Cenderawasih melalui Kontrak Karya I berdurasi 30 tahun. 

Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc melalui anak usaha di Indonesia, Freeport Indonesia, Inc., sebelum diubah menjadi PT Freeport Indonesia, menjelma menjadi raja tambang dunia setelah mengekplorasi tambang emas terbesar di dunia tersebut. Hebatnya, dunia luar khususnya masyarakat Indonesia, tidak mengetahui jika tambang di pegunungan Jaya Wijaya itu menghasilkan emas, bukan hanya perak. Bahkan deposit emasnya justru lebih banyak, hampir dua kali lipat dibanding tembaga.

Aksi tipu-tipu ini berjalan mulus di bawah rezim Soeharto. Sepanjang 30 tahun pertama, usaha Freeport nyaris tanpa gangguan. Rakyat Indonesia, terutama Papua, tidak menikmati indahnya kilau emas dari perut buminya. Wajah-wajah nestapa, kemiskinan struktural, menjadi potret buram penduduk yang lahir di atas tumpukan emas. Label kaum sparatis dengan mudah menempel di jidat mereka manakala bertanya mengapa bumiku diaduk-aduk? Mengapa mereka makan roti berlapis keju sementara kami harus mengais talas di atas sungai yang dipenuhi mercuri?

Kontrak Karya kedua berdurasi 30 tahun kembali didapat Freeport tahun 1991 usai ditemukan cadangan emas yang lebih besar di area Grasberg. Saham Freeport kian moncer, sejumlah oknum di Jakarta bergelimang pundi-pundi, sementara penduduk sekitar usaha penambangan semakin celaka. Upaya mencari perhatian dunia terhadap ketimpangan yang terjadi di Papua, melalui aksi penculikan dihadapi dengan berondongan peluru. 

Harapan terbit ketika Soeharto jatuh tahun 1998. Secercah harapan terbit di bumi paling timur Indonesia. Namun harapan tinggal harapan. Jakarta enggan melepas dominasinya atas  kekayaan Papua. Meski gerojokan dana bertambah melalui klausul otonomi khusus, tetapi jumlahnya tetap belum sebanding dengan kekayaan yang dikeruk. Bukan sepenuhnya salah pemerintah Indonesia pasca reformasi, tetapi sistem bagi hasil yang tercantum dalam Kontrak Karya memang lebih memihak kepada Freeport.

Rezim Susilo Bambang Yudhoyono sudah mencoba “mengusik” Freeport, dan juga usaha penambang lainnya, melalui kewajiban hilirisasi hasil tambang. Freeport diwajibkan untuk membangun smelter untuk mengolah bijih emas dan tembaga sebelum dikapalkan ke Amerika Serikat. Namun Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. yang mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter baru bisa dieksekusi 5 tahun setelah ditandatangani. Rupanya SBY tahu, resiko yang bakal dihadapi jika bersikap terlalu keras terhadap Freeport. Namun karena butuh pencitraan, SBY pun menciptakan “bom waktu” bagi penggantinya.

Awalnya Freeport terlihat akan mematuhi kewajiban tersebut. Konon smelter akan dibangun di Gresik Jawa TImur. Tetapi sampai batas waktu yang ditentukan, smelter belum juga beroperasi. Sesuai ketentuan, Freeport mestinya dilarang mengekspor konsentrat. Tetapi dengan dalih operasional tambang harus terus berjalan karena menyangkut hajat hidup ribuan karyawan, Freeport pun meminta keringan agar diperbolehkan mengekspor biji mentah hasil tambang sebelum smelternya benar-benar bisa dioperasian.

Apa lacur. Dua kali keringan yang diberikan pemerintah rupanya “disalahgunakan”. Pembangunan smelter sengaja diulur-ulur. Sejumlah kalangan Freeport tidak benar-benar serius ingin membangun smelter. Presiden Joko Widodo pun meradang. Pemerintah mengeluarkan kebijakan mengubah Kontrak Karya menjadi hanya izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Pemerintah memperbolehkan Freeport mengekspor konsentrat asal mau menandatangani perubahan kontrak tersebut. Jika tidak mau, Freeport harus membangun smelter dan dilarang melakukan ekspor hasil tambang yang masih mentah.

Presiden Direktur Freeport McMoran Inc Richard C Adkerson melihat gelagat tidak baik yang tengah dipaksakan Pemerintahan Jokowi. Sebab dengan perubahan kontrak tersebut, posisi Freeport tidak lagi setara dengan Pemerintah Indonesia. Freeport harus tunduk dengan segala aturan pertambangan yang berlaku, tidak lagi bisa berlindung di balik hak eksklusif yang diterima sebagai pemegang Kontrak Karya. Belum lagi Freeport harus menyerahkan lahan konsesi yang mencapai 90 ribu hektar karena pemegang IUPK hanya diperbolehkan menguasai areal tambang seluas 25 ribu hektar.

Dengan gaya khas koboi Texas, petinggi Freeport menantang Indonesia. Pertama-tama mereka menggunakan karyawan untuk menekan pemerintah Indonesia, baik melalui aksi demo karyawan maupun ancaman PHK. Ribuan karyawan akan kehilangan pekerjaan jika Freeport hengkang dari Papua. Sejumlah lembaga, termasuk tim sepakbola setempat Persipura, juga akan merasakan dampaknya karena tidak lagi akan menerima kucuran dana. Terakhir mereka siap menggugat pemerintah Indonesia ke badan Arbitrase Internasional karena merasa masih memiliki sisa kontrak hingga 2021, namun pemerintah Indonesia membatalkan secara sepihak.

Pemerintah Indonesia untuk sementara waktu menyatakan tidak gentar. “Kampungan,” umpat Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengungkit kontribusi Freeport yang sangat kecil. Bukan hanya itu, Jonan juga “mengejek” Freeport sebagai perusahaan kecil, tidak lebih besar dari PT Telkom Indonesia, Tbk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun