Dengan memberikan dukungan terbuka kepada salah satu kandidat tersisa, Agus dapat belajar bagaimana mengelola konflik (politik), melihat “kelucuan” nitizen yang diam-diam menghapus postingan terdahulu karena isinya bertolak-belakang dengan tulisan terbarunya, memetakan kecenderungan masyarakat dalam memberikan dukungan, dan hal-hal lain yang pastinya akan berguna ketika kelak dirinya kembali menjadi kontestan gelaran politik.
Ada banyak hal di ranah politik yang tidak ditemuinya di dunia militer. Tidak ada semangat korsa, tidak juga berlaku jiwa ksatria. Meski hal-hal semacam itu bisa dipelajari dari buku, atau mendengar dongeng Pepo, tetapi peristiwa politik yang terjadi 10 tahun lalu, bahkan dua minggu lalu, tidak akan pernah benar-benar sama dengan peristiwa politik yang akan terjadi mendatang meski memiliki dan melibatkan isu yang sama.
Sangat lazim terjadi, musuh kita hari ini adalah teman yang pada sebulan lalu bahu-membahu mengegolkan satu isu. Sangat mungkin pada pemilu lalu masyarakat memilih pemimpin berdasarkan tulang-belulang ayahnya, berdasarkan melodrama yang mengharu-biru lakon utamanya, dan hari ini kita menemukan sekelompok masyarakat yang memilih berdasarkan kesamaan fisik, kesamaan keyakinan, atau bahkan karena warisan dendam yang dia sendiri tidak tahu mengapa harus ikut membenci.
Jika Agus tidak berani mengambil resiko, memilih aman dari nyinyir netizen, maka lebih baik Agus mulai memikirkan dunia lain untuk mengisi hari-harinya. Semisal membuka kursus crowd surfing bagi anak-anak muda yang terobsesi menjadi Superman.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H