Usai sudah hiruk-pikuk kampanye terkait Pilkada DKI 2017. Kerasnya pertarungan bisa dilihat dari masifnya pelibatan masyarakat dan juga aparat negara dalam perdebatan dan unjuk kekuatan baik di lapangan maupun media sosial. Meski hasil akhir belum diketahui, tetapi setidaknya Presiden Joko Widodo sudah bisa tidur nyenyak jika melihat hasil survei sejumlah lembaga termasuk polling di Twitter yang digelar oleh Kompasiana , VIVA.co.id dan Metrotvnews.com usai debat terakhir.
Hasil survei maupun polling tersebut menempatkan jagoan Cikeas, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di urutan buncit. Dengan demikian, jika Pilkada DKI digelar dua putaran, kemungkinan besar akan mempertemukan dua “jagoan istana” Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) vs Anies Rasyid Baswedan.
Sulit dibantah jika Presiden Jokowi tidak “mendukung” Anies Baswedan. Dari berbagai peristiwa yang terjadi selama tiga bulan terakhir- terkait Pilkada DKI, nyaris tidak ditemukan adanya upaya istana menjegal langkah Anies. Rivalitas antara Anies dan Ahok pun tidak terlalu menonjol. Riak-riak yang terjadi dalam debat, tidak sedasyat serangan yang dilancarkan Ahok-Djarot Saiful Hidayat maupun Anies-Sandiaga Salahudin Uno terhadap pasangan calon (paslon) nomor urut 1, AHY-Sylviana Murni.
Tidak perlu dibahas lagi mengapa Jokowi “mendukung” Ahok. Sudah banyak dibahas dan dipertontonkan secara langsung oleh istana. Jokowi tentu ingin Jakarta dipimpin oleh orang yang sudah “dikenal”. Sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja dalam konteks politik.
Namun argumen Anies “orang istana” masih banyak yang meragukan. Mereka yang tidak percaya Anies “orangnya” Jokowi bukan hanya dari pendukung Ahok saja, tetapi juga dari kubu Anies sendiri. Jika Ahoker beralasan Anies dipecat dari jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena gagal mengemban tugas dari Jokowi, kubu Anies membantah argumen “orang istana” dengan dalih Jokowi tidak ngewongke Anies karena dilengserkan secara mendadak tanpa ada pemberitahuan langsung dari Presiden Jokowi. Bahkan ada yang ekstrem mengatakan Jokowi memecat Anies karena takut menjadi rivalnya di Pilpres 2019.
Benarkah demikian? Mari kita lihat fakta-fakta yang tersaji.
Salah satunya adalah keputusan Anies untuk mengubah fungsi Ujian Nasional tak lagi menjadi penentu kelulusan seorang pelajar. Perubahan ini membuat UN tak lagi menjadi momok menakutkan bagi pelajar di tanah air.
Anies juga berhasil melerai polemik terkait pemberlakuan kurikulum 2013 dengan memberikan jalan tengah berupa meninjau ulang pelaksanaannya sambil melakukan penyesuaian sampai kesenjangan/gap (disparitas) antar sekolah tidak terlalu tinggi.
Anies juga berhasil menghapus perpeloncoan di sekolah sehingga sejak diterapkan larangan tersebut tidak ada lagi siswa didik yang mengalami kekerasan pada hari-hari pertama tahun ajaran baru. MOS dihapus, kekerasan dihapus juga. “Kalau perpeloncoannya masih adalah satu dua yang melapor, tapi sudah enggak kelihatan lagi anak sekolah itu kayak badut. Revolusi mental itu jalan," ujar Anies seperti dikutip dari KOMPAS.com
Masih dikutip dari berita yang sama, Anies mengaku pada awalnya, distribusi KIP (Kartu Indonesia Pintar) sempat tersendat karena terkendala data dari BPS, namun target distribusi KIP tahun 2015 tetap sukses. Dari target 17,9 juta siswa didik yang mendapatkan KIP, Kemendikbud berhasil membagikan 19,1 juta. Sesaat sebelum meninggalkan kursi menteri, distribusi KIP 2016 sudah menyentuh angka 93 persen dari target.
Belum lagi terkait peningkatan mutu pendidik, pembenahan seleksi pejabat di Kemendikbud dari sebelumnya tertutup menjadi terbuka, gerakan orang tua mengantar anak di hari pertama sekolah, Dengan seabrek prestasi itu, sulit dipercaya jika Anies dicopot karena kinerjanya. Anies pun sudah membantah soal itu. Anies masih percaya apa yang dilakukan Presiden untuk memastikan pemerintahan berjalan baik.