Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Beradu 'Gincu Menor' di Pilkada DKI

25 Oktober 2016   15:43 Diperbarui: 25 Oktober 2016   20:09 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin tebal gincu di bibir semakin jauh pula suara masyarakat.

Masa kampnye hendaknya digunakan secara maksimal oleh semua kandidat untuk membeberkan program kerjanya kepada masyarakat. Jangan gadaikan diri pada artis-artis yang belum tentu paham dengan visi-misinya. Satu hal lagi, sudahi saling serang antar kandidat. Sebagian besar masyarakat sudah jenuh dengan pertentangan antar kandidat yang tidak memberi manfaat. Ajari masyarakat berdemokrasi secara sehat, cerdas dan santun.

Selama ini seperti ada kesepakatan tidak tertulis antara petahana dengan penantangnya. Petahana selalu memamerkan apa yang sudah dilakukan, sementara penantangnya mencari-cari kelemahannya. Padahal masyarakat tidak akan mendengar apa yang sudah dilakukan petahana karena sebagian besar sudah diketahui dan dirasakan. Masyarakat calon pemilih hanya ingin tahu apa lagi yang akan dilakukan jika kelak kembali memangku kekuasaan. Apakah rencana kerjanya lebih baik ataukah lebih buruk dari sebelumnya.

Demikian juga bagi penantangnya. Adalah keliru ketika jualannya hanya mengorek-orek kesalahan dan kelemahan petahana. Mengapa? Karena masyarakat pun sudah mengetahui hal itu. Masyarakat justru muak jika ada penantang yang jualannya melulu “kekurangan” petahana sekali pun masyarakat  juga tidak suka dengan kekurangannya itu.  Jika Anies ataupun AHY teriak-teriak jangan pilih Ahok karena suka ngomong kasar, maka masyarakat pasti mencibir. Bukankah dirinya juga tidak kalah kasara karena menjelek-jelekkan lawan?

Penantang mestinya mengenalkan diri dan meyakinkan masyarakat jika program kerja yang “dijual” sesuai dengan keinginan masyarakat, bukan keinginan tim suksesnya. Di sinilah perlunya bagi penantang untuk menginventarisir berbagai permasalahan yang ada di masyarakat dan mencarikan solusi yang tepat.

Untuk mengejar ketertingalan popularitas dari petahana, sang penantang tidak perlu melakukan aksi-aksi akrobatik. Perkenalkan diri secara alamiah karena masyarakat hanya ingin tahu hal-hal yang bersifat personal. Terlebih jika sang penantang berasal dari “kalangan atas” yang tentu “berjarak” dengan masyarakat bawah yang masih menjadi mayoritas di negeri ini. Mengenal di sini memiliki dimensi luas, bukan sekedar tahu nama tetapi juga ingin tahu keluarganya, berapa anaknya, apa hobinya dan hal-hal lain yang bersifat personal.

Mengenalkan diri dengan cara berbelanja ke pasar, tidak akan mendapatkan apa-apa karena dirinya tetap tidak akan “dikenal”. Bukan pujian yang diterima, tetapi malah hujatan karena masyarakat tahu yang dilakukannya hanyalah sebentuk kepura-puraan.

Beda jika dia tiba-tiba sang penantang makan bakso “langganannya” di pojok pasar. Ketika masyarakat datang ke warung bakso tersebut dan bertanya apakah sang penantang sudah sering ke warung baksonya, lalu pemilik warung bakso serta beberapa orang yang biasa mangkal di sekitar tempat itu, membenarkannya, atau ada bukti rekam jejak dia memang suka makan di tempat-tempat kumuh, simpati akan mengalir tanpa diminta.

Masyarakat akan merasa sudah kenal dan ada “kedekatan” personal karena dirinya juga suka bakso. Nilai tambah di mata masyarakat adalah kerendahan hati dan sikapnya yang tidak sombong karena masih mau makan bakso di pojok pasar. Tetapi jika aksi makan bakso itu ternyata baru sekali dilakukan, masyarakat pun akan mencibir dan menilai dia tengah melakukan pencitraan.

Jadi, bagi para penantang yang akan memulai kampanye, lakukanlah segala sesuatunya seperti yang selama ini dilakukan. Jangan sampai aksi yang dilakukan justru menimbulkan rasa kasihan, bukan simpati. Era itu sudah lewat. Saat ini sebagian besar masyarakat baik diperkotaan ataupun di pelosok, ingin pemimpinnya tetap “manusia biasa” seperti halnya mereka yang kadang keseleo lidah, kadang cengengesan. Bukan pemimpin yang selalu tampil perfek nyaris tanpa cela, namun penuh polesan.

Terlepas dari itu semua, program kerjanya tetap yang paling utama -bukan pencitraan, bukan pula perempuan-perempuan molek bergincu tebal. 

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun