Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Beradu 'Gincu Menor' di Pilkada DKI

25 Oktober 2016   15:43 Diperbarui: 25 Oktober 2016   20:09 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Instagram Sophia Latjuba dan Olla Ramlan

Setelah pemilihan nomor urut peserta, gelaran pilkada DKI Jakarta memasuki fase paling “keras” yakni masa kampanye yang akan dimulai Jumat 28 Oktober. Melihat deretan artis yang mengelilingi para kandidat, masa kampanye sepertinya tidak akan menjadi ajang adu program dan visi-misi, tetapi kontes artis. Jangan salahkan masyarakat Jakarta jika kelak pemenangnya bukan Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan atau Agus Harimurti Yudhoyono, tetapi Sophia Latjuba, Olla Ramlan atau Dessy Ratnasari.

Tanda-tanda pilkada bukan adu program dan visi-misi para calon gubernur sudah terendus sejak pendaftaran pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur ke KPUD. Diawali munculnya nama Sophia Latjuba dalam tim pemenangan Ahok-Djarot, kubu Anies-Sandiaga langsung memunculkan nama Olla Ramlan. Kubu AHY-Sylviana tidak mau ketinggalan.

Meski AHY sudah cukup pede dengan membawa Anissa Pohan- sang istri yang mantan artis, namun partai pendukungnya, terutama PAN, yang memiliki kader dari kalangan artis, ikut bereaksi. Nama Dessy Ratnasari, Venna Melinda, Oky Asokawati hingga Arzeti Bilbina yang saat ini menjadi anggota DPR, dipasangan sebagai vote getter. Lihatlah pernyataan Ketua DPW PAN DKI Jakarta, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio.

"Saya harap nanti Sophia Latjuba bisa head to headdengan Desi Ratnasari,” kata juri stand up comedy di salah satu stasiun TV itu di sini.

Mengapa pola pikir untuk “mengelabui” masyarakat dengan gincu artis masih menjadi pilihan para politisi? Apakah ini cerminan ketidakpercayaan mereka terhadap program kerja dan visi-misi yang ditawarakan? Ataukah mereka terjebak asumsi bahwa pemilih dalam kontestasi politik tidak pernah peduli pada program kerja calon pemimpinnya sehingga mau memberikan suaranya untuk calon yang didukung oleh artis idolanya? Ataukah mereka menganggap perempuan-perempuan cantik itu hanya sekedar “pemoles bibir” sebagaimana umbrella girl di lintasan F1?

Apa yang ditampilkan oleh tim sukses kandidat pilkada DKI sangat kontradiksi dengan asumsi yang berlaku umum di mana masyarakat Jakarta dikenal sebagai  pemilih (yang) rasional. Sudah banyak artis yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR/DPRD di daerah pemilihan Jakarta, rontok. Munculnya nama Masinton Pasaribu (PDIP) yang mengalahkan artis senior Jenny Rachman (Partai Demokrat) dan Dwiki Darmawan (PAN) di dapil Jakarta II, atau nama Ahmad Sahroni (Nasdem) yang mengalahkan Vera Febriyanthy (Demokrat), Ida Royani serta Jeremy Thomas (PAN) di dapil Jakarta III, pada pemilu legislatif 2014 lalu, cukup menjadi bukti tingkat rasionalitas pemilih di Jakarta. Ketenaran nama bukan jaminan untuk meraih simpati dan dipilih oleh masyarakat Jakarta.

Faktor kedekatan dan citra tokoh partai pendukung menjadi alasan utama pemilih Jakarta pada Pemilu 2014 karena pemilu legislatif memang bukan pertarungan program dan visi-misi kandidat (caleg) melainkan program, dan visi-misi partai atau tokoh-tokoh besar di tubuh partai.

Tetapi ingat faktor kedekatan personal tetap menjadi alasan utamanya, Hal itu bisa dilihat dari keterpilihan calon berdasarkan perolehan suara murni (memilih calon), bukan partai. Sebagai contoh Masinton yang berada di nomor urut 3 caleg PDIP untuk Dapil Jakarta II memperoleh 30.989 suara murni, mengalahkan perolehan suara caleg PDIP nomor urut 2 dr Amendi Nasution.  Demikian juga kegagalan Fadjar Panjaitan ke Senayan.

Sama-sama diusung oleh PDIP di dapil Jakarta III Fajar dikalahkan oleh Charles Honoris yang berada di urutan nomor 7 dengan perolehan suara mencapai 96.842 suara. Sementara Fajar yang berada di urutan nomor 6 hanya memperoleh sekitar 35,000 suara. Padahal secara umum, nama Fajar jauh lebih terkenal karena pernah menjadi Sekda DKI di masa Fauzi Bowo.

Kegagalan Marzuki Alie yang maju melalui Partai Demokrat di dapil Jakarta III bisa dijadikan contoh bagaimana isu partai tempatnya bernaung juga dapat mempengaruhi  elektabilitasnya. Seperti diketahui, menjelang Pemilu 2014 Partai Demokrat  mengalami turbulensi akibat skandal mega korupsi yang melibatkan para punggawanya seperti Anas Urbaningrum, Nazaruddin hingga ikon Demokrat Angelina Sondakh. Secara nasional perolehan suara Demokrat pada Pemilu 2014 pun anjlok dratis. Posisinya dari partai pemenang pada Pemilu 2009 turun ke posisi 4 di bawah PDIP, Golkar dan Gerindra.  

Gambaran di atas cukup untuk dijadikan alat ukur terkait kecenderungan pemilih di Jakarta. Faktanya mereka lebih mengedepankan rasionalitas dibanding fanatisme, apalagi sekedar ngefans. Polesan gincu tidak akan berpengaruh secara siginifikan terhadap perolehan suara kandidat. Kehadiran Sophia Latjuba tidak akan serta-merta mendongkrak perolehan suara pasangan Ahok-Djarot. Demikian juga kehadiran Olla Ramlan di kubu Anies dan Dessy Ratnasari di kubu AHY.

Semakin tebal gincu di bibir semakin jauh pula suara masyarakat.

Masa kampnye hendaknya digunakan secara maksimal oleh semua kandidat untuk membeberkan program kerjanya kepada masyarakat. Jangan gadaikan diri pada artis-artis yang belum tentu paham dengan visi-misinya. Satu hal lagi, sudahi saling serang antar kandidat. Sebagian besar masyarakat sudah jenuh dengan pertentangan antar kandidat yang tidak memberi manfaat. Ajari masyarakat berdemokrasi secara sehat, cerdas dan santun.

Selama ini seperti ada kesepakatan tidak tertulis antara petahana dengan penantangnya. Petahana selalu memamerkan apa yang sudah dilakukan, sementara penantangnya mencari-cari kelemahannya. Padahal masyarakat tidak akan mendengar apa yang sudah dilakukan petahana karena sebagian besar sudah diketahui dan dirasakan. Masyarakat calon pemilih hanya ingin tahu apa lagi yang akan dilakukan jika kelak kembali memangku kekuasaan. Apakah rencana kerjanya lebih baik ataukah lebih buruk dari sebelumnya.

Demikian juga bagi penantangnya. Adalah keliru ketika jualannya hanya mengorek-orek kesalahan dan kelemahan petahana. Mengapa? Karena masyarakat pun sudah mengetahui hal itu. Masyarakat justru muak jika ada penantang yang jualannya melulu “kekurangan” petahana sekali pun masyarakat  juga tidak suka dengan kekurangannya itu.  Jika Anies ataupun AHY teriak-teriak jangan pilih Ahok karena suka ngomong kasar, maka masyarakat pasti mencibir. Bukankah dirinya juga tidak kalah kasara karena menjelek-jelekkan lawan?

Penantang mestinya mengenalkan diri dan meyakinkan masyarakat jika program kerja yang “dijual” sesuai dengan keinginan masyarakat, bukan keinginan tim suksesnya. Di sinilah perlunya bagi penantang untuk menginventarisir berbagai permasalahan yang ada di masyarakat dan mencarikan solusi yang tepat.

Untuk mengejar ketertingalan popularitas dari petahana, sang penantang tidak perlu melakukan aksi-aksi akrobatik. Perkenalkan diri secara alamiah karena masyarakat hanya ingin tahu hal-hal yang bersifat personal. Terlebih jika sang penantang berasal dari “kalangan atas” yang tentu “berjarak” dengan masyarakat bawah yang masih menjadi mayoritas di negeri ini. Mengenal di sini memiliki dimensi luas, bukan sekedar tahu nama tetapi juga ingin tahu keluarganya, berapa anaknya, apa hobinya dan hal-hal lain yang bersifat personal.

Mengenalkan diri dengan cara berbelanja ke pasar, tidak akan mendapatkan apa-apa karena dirinya tetap tidak akan “dikenal”. Bukan pujian yang diterima, tetapi malah hujatan karena masyarakat tahu yang dilakukannya hanyalah sebentuk kepura-puraan.

Beda jika dia tiba-tiba sang penantang makan bakso “langganannya” di pojok pasar. Ketika masyarakat datang ke warung bakso tersebut dan bertanya apakah sang penantang sudah sering ke warung baksonya, lalu pemilik warung bakso serta beberapa orang yang biasa mangkal di sekitar tempat itu, membenarkannya, atau ada bukti rekam jejak dia memang suka makan di tempat-tempat kumuh, simpati akan mengalir tanpa diminta.

Masyarakat akan merasa sudah kenal dan ada “kedekatan” personal karena dirinya juga suka bakso. Nilai tambah di mata masyarakat adalah kerendahan hati dan sikapnya yang tidak sombong karena masih mau makan bakso di pojok pasar. Tetapi jika aksi makan bakso itu ternyata baru sekali dilakukan, masyarakat pun akan mencibir dan menilai dia tengah melakukan pencitraan.

Jadi, bagi para penantang yang akan memulai kampanye, lakukanlah segala sesuatunya seperti yang selama ini dilakukan. Jangan sampai aksi yang dilakukan justru menimbulkan rasa kasihan, bukan simpati. Era itu sudah lewat. Saat ini sebagian besar masyarakat baik diperkotaan ataupun di pelosok, ingin pemimpinnya tetap “manusia biasa” seperti halnya mereka yang kadang keseleo lidah, kadang cengengesan. Bukan pemimpin yang selalu tampil perfek nyaris tanpa cela, namun penuh polesan.

Terlepas dari itu semua, program kerjanya tetap yang paling utama -bukan pencitraan, bukan pula perempuan-perempuan molek bergincu tebal. 

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun